EKOFEMINIS: WASIAT KARTINI UNTUK BUMI
Kartini adalah perempuan Indonesia, ibu kita-anak-anak negeri Nusantara. Ibu yang pernah hidup di lembah sosial budaya feodaldan patriarkhi. Dengan spirit keibuan pun kemudaannya (korban kawin muda-paksa?), dalam kungkungan budaya lokalitas Jawa, ia mencoba bangkit dengan bersentuhan dengan dunia global, meski sekadar bahasa seratan. (Andai Kartini mengenal FB, e-mail, Maka perubahan itu akan spektakuler!).Â
Hingga suara jiwa dan nalarpikirnya berkembang menyeberang lautan, mengembara melintasi batasan dimensiruang-waktu, maka "Habis Gelap Terbitlah Terang". Bisa jadi, Kartini muda adalah gadis saleha yang rajin mengaji, sehingga terkesan dan yakin dengan kalam Tuhan, '... yukhrijuuhum minadh dhulumaati ilanNuur' :("...Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya..." QS.Al Baqarah: 257). Wallahua'lam.
Wasiat Kartini selama ini dimaknai sebagai upaya sadar perempuan untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaanya, dalam bahasa 'emansipasi'. Maka, di Hari Bumi ini, wasiat Kartini bisa kita kembangkan ke subjek dan ranah yang lebih luas, bukan untuk perempuan pun tentang kepentingan perempuan semata.Â
Wasiat Kartini adalah wasiat untuk pewaris negeri untuk turut berjuang dengan kesadarannya membela hak-hak kemanusiaan sekaligus hak kemakhluqan, yakni menjaga alam agar tidak rusak. Wasiat Kartini tidak sekadar menonjolkan kedirian perempuan melalui kontes kecantikan, produk industri ramah perempuan, memaksakan kuota perempuan, dan sebagainya. Melainkan juga mengangkat spirit feminitas manusia (rasa asih, asah, asuh pada lelaki pun perempuan) untuk turut menjaga kelestarian alam.Â
Ahli waris 'spirit Kartini' adalah kita, perempuan-lelaki Indonesia dengan amanat agar menjaga harkat dan kehormatan perempuan serta menjaga kelestarian alam. Sungguh, menjaga harkat perempuan adalah menjaga kehormatan ibu kita, menjaga kehidupan sesama.Â
Mengutip kata Sachiko Murata, menjaga kelestarian alam dan bumi adalah menjaga harkat kemanusiaan (kaum) ibu dan isteri kita. Tuhan mengisyaratkan kesadaran penjagaan ini dalam sebuah majas pars pro toto pada kalamNya:
"...bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...." (QS.Al-Maaidah: 32).
Terakhir,sejatinya ekofeminisme pun wasiat ibu kita, Kartini. Tanggung jawab menjadi ekofeminis adalah tanggung jawab setara, perempuan dan laki-laki. Bukan sekadar kepentingan sepihak dan sesaat (perempuan kekinian), tetapi lebih sebagai kepentingan kemanusiaan yang lestari dan berkelanjutan (generasi kini -- kelak).Â
Potensi maskulinitas dan feminitas yang ada pada manusia perlu dikembangkan secara integral dalam mengabdi kepada Tuhan dan mengelola alam, agar muncul relasi harmoni tiga dimensi (Tuhan-alam-manusia) yang organis.Â
Masalahnya, siapkah kita menjadi ekofeminis? Apakah kita sekadar feminis yang antroposentris ataupun konservasionis yang biofasis? Atau malah kita belum menjadi apa-apa? Jawabnya ada di nurani kita masing-masing. Baiknya, dengarkan dendangan lagu anak-anak "gen ekofeminis" di hari-hari baik ini:Â