Mohon tunggu...
M Zia Al Ayyubi
M Zia Al Ayyubi Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar, Penulis, Mahasiswa

Santri Ponpes Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Klaim Sepihak Karya atau Hak Miliki Orang Lain: Pandangan Fikih terhadap HaKI

3 Agustus 2022   16:48 Diperbarui: 3 Agustus 2022   19:00 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Akhir-akhir ini sering kali diperbincangkan terkait dengan klaim sepihak atas karya orang lain. Salah satu yang ramai saat ini adalah pengajuan klaim kepemilikan sebuah brand Citayam Fashion Week.

Dilansir dari CNN Indonesia.com, Citayam Fashion Week saat ini menjadi fenomena yang banyak diperbincangkan masyarakat saat ini. Ajang CFW ini dilatarbelakangi oleh remaja asal Depok, Bojong Gede, Tangerang dan Citayam yang nongkrong di kawasan Dukuh Atas setelah datang naik kereta.

Ajang kegiatan tersebut kemudian viral di media sosial dan menjadi sorotan para netizen saat ini. Bahkan dibeberapa tempat lain dapat ditemukan hal serupa yang mengadopsi ajang CFW tersebut.

Lantas bagaimana pandangan hukum fikih terkait klaim sepihak karya atau hak milik orang lain?

Dalam kitab Al-Nizham al-Iqtishadiy fi al-Islam karya Taqiyuddin Al-Nabhani disebutkan bahwa ada lima sebab atau cara seseorang memiliki sesuatu menurut syariat Islam. Pertama, dengan cara bekerja. yang dimaksud dengan bekerja di sini seperti menghidupkan tanah mati, harta rikaz, berburu, komisi, perseroan antara harta dengan tenaga, mengairi lahan pertanian, dan ijarah kontrak tenaga kerja.

Kedua, pewarisan, yakni pemindahan hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli waris. Ketiga, kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup, maksudnya adalah menganggap mengambil makanan (orang lain) dalam kondisi sangat kelaparan untuk mempertahankan hidup bukan termasuk dalam katagori mencuri. Keempat, pemberian harta negara kepada rakyat. Kelima, harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga, seperti hadiah, hibah, dan lain-lain.

Terkait dengan kepemilikan hak atas suatu benda juga sudah dirumuskan oleh ulama fikih terdahulu. Konsep al-milk (kepemilikan) pada dasarnya semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Hal ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah: 284. Adapun konsep kepemilikan suatu benda dalam konteks manusia yang nisbi berarti pemilik memiliki kekuasaan terhadap suatu benda, dan bebas menentukan apakah akan dimanfaatkan, digunakan, disimpan, atau yang lain. Sehingga kepemilikan ini membuahkan hukum bahwa orang lain tidak boleh bertindak dan memanfaatkannya selama tidak ada halangan yang melanggar syariat.

Dalam rumusan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 1 ayat [9] disebutkan mengenai "amwal adalah harta benda benda yang dapat dimiliki, dikuasai, disahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda terdaftar maupun tidak terdaftar; baik benda bergerak maupun tidak bergerak dan hak yang memiliki nilai ekonomis."

Yang perlu diperhatikan dan digarisbawahi dari rumusan KHES di atas adalah kepemilikan terhadap benda yang tidak berwujud atau benda abstrak. Mengenai hal ini dijelaskan kembali pada ayat [11], "benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak dapat diindera."

Hak kekayaan intelektual misalnya. Dalam fikih, kekayaan intelektual disebut sebagai hak ibtikar. Secara bahasa, ibtikar berarti awal sesuatu atau permulaan. Istilah ini nampaknya jarang atau bahkan tidak disinggung literatur fikih klasik dan ulama fikih terdahulu. Adapun kajian pembahasan secara secara mendalam terkait dengan ibtikar baru dapat ditemukan dalam kitab fikih kontemporer, dalam hal ini kitab Haqq al-Ibtikar fi al-Fiqh al-Islami al-Muqaran (2008), karya Fathi al-Duraini.

Fathi al-Duraini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ibtikar adalah "gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuwan melalui kemampuan pemikiran dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama, yang belum dikemukakan ilmuwan sebelumnya." Singkatnya, ibtikar adalah hak kreasi atau hak cipta yang dihasilkan seseorang untuk pertama kali, atau jika di dalam dunia ilmu pengetahuan modern dikenal dengan sebutan hak cipta.

Di Indonesia, wewenang mengatur kebijakan dan kekuasaan terhadap hak kekayaan intelektual dipegang oleh Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Ham. Di antara Tugas DJKI adalah penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Dari sini terlihat bahwa negara berupaya untuk melindungi hak kepemilikan suatu benda dengan asas hukum.

Kemudian bagaimana perhatian Islam terhadap hak milik seseorang kiranya tidak perlu diragukan lagi. Mengenai harta benda dan kepemilikannya, fikih telah membincangnya pada tataran prinsip mulai dari kategorisasi, fungsi harta, cara mendapatkan, memelihara, mengalihkan hak milik dan lain sebagainya. Di Al-Qur'an sendiri menjelaskan aturan mengenai hak kebendaan, sebagaimana yang disebutkan pada QS. Al-Baqarah: 188

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."

Pada ayat lain dijelaskan pula bagaimana Al-Qur'an mengatur orang yang mengambil barang yang bukan haknya, sebagaimana yang disebutkan QS. Al-Ma`idah: 3

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Ma`idah: 38).

Secara tekstual, ayat ini menjelaskan aturan bagi seseorang yang mengambil barang yang bukan haknya. Terlepas dari beragam variasi penafsirannya, secara implisit ayat ini sangat ingin melindungi hak milik seseorang atas kebendaan. Selain itu Islam juga mengatur bagaimana konsep kepemilikan hingga mekanisme pengalihan hak harta atau benda, baik yang materi maupun yang immateri. Dari sini menunjukkan bahwa Islam sangat serius memberikan perhatiannya terhadap hak kepemilikan kebendaan. Dan tentunya klaim atas kepemilikan orang lain bukanlah sesuatu yang dibenarkan oleh Islam.

Referensi:

Al-Nizham al-Iqtishadiy fi al-Islam (Imam Taqiyuddin)

Haqq al-Ibtikar fi al-Fiqh al-Islami al-Muqaran )Fathi ad-Duraini(

"Konsep Haki dalam Hukum Islam dan Implementasinya Bagi Perlindungan Hak Merek di Indonesia" (Ade Hidayat)

"Konsep Kepemilikan dalam Islam" (Ali Akbar)

"Hak Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Hukum Islam: Kajian atas Qs. An-Nisa [5]: 29" (Mufliha Wijayati)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun