Mohon tunggu...
M Zia Al Ayyubi
M Zia Al Ayyubi Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar, Penulis, Mahasiswa

Santri Ponpes Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Sejarah Puasa di Awal Kenabian, Puasa Ramadan Pasca Nabi Hijrah, dan Berpuasa di Tengah Pandemi Corona

28 April 2020   09:00 Diperbarui: 28 April 2020   09:14 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Bulan Ramadhan merupakan bulan teristimewa yang dinantikan umat muslim di seluruh dunia. Bulan dengan penuh keistimewaan yang hanya diberikan pada umat Nabi Muhammad dan tidak diberikan kepada umat nabi sebelumnya.

Syariat puasa di bulan Ramadhan bukan datang dan muncul tiba-tiba ketika Islam mulai disebarkan oleh Nabi Muhammad setelah diangkat menjadi rasul-Nya. Tercatat dalam sejarah, awal mula disyariatkan puasa di bulan Ramadhan adalah pada tahun 2 H, atau dua tahun setelah nabi hijrah ke Madinah.

Jadi jika Nabi Muhammad dakwah di Makkah kurang lebih selama 13 tahun, maka jika dihitung secara matematis, disyariatkannya puasa Ramadhan adalah setelah 15 tahun Nabi Muhammad diutus sebagai Rasulullah.

Lalu bagaimana puasa di 15 tahun setelah diutusnya Nabi Muhammad menjadi rasul? Ibn Katsir menjelaskan bahwasanya pada permulaan Islam, puasanya umat Islam pada waktu tersebut adalah berpuasa tiga hari di setiap bulannya. Hal ini sebagaimana puasa yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu, yakni berpuasa di setiap bulannya selama tiga hari.

Dan kemudian Allah menghapus syariat puasa tersebut dan menggantinya dengan disyariatkannya puasa di waktu tertentu, yakni pada bulan Ramadhan. Maka dari itu wahyu yang berisi perintah kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan ini kurang pas jika hanya menyebutkan Qs. Al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Sedangkan ayat selanjutnya (ayat 184) bunyinya sebagai berikut:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Apabila dalam melihat Qs. Al-Baqarah ayat 183 tidak melihat ayat selanjutnya, atau ayat selanjutnya (ayat 184) dibaca secara potongan tanpa melihat dan mempertimbangkan ayat sebelumnya (ayat 183), maka yang muncul adalah pemahaman yang tidak utuh.

Dengan melihat terjemahannya saja sudah dapat terlihat bahwa kedua ayat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Mungkin ini menjadi sebab mengapa KHR. M. Najib Abdul Qodir dalam membaca akhir ayat 183 tidak di-waqaf-kan, melainkan di-washal­-kan ke ayat selanjutnya.

Nah, lantas bagaimana mengilmui puasa di tengah pandemi corona saat ini? Berpuasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkannya mulai dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Ibn Katsir menjelaskan bahwa di dalam berpuasa, ada suatu manfaat untuk membersihkan. Baik membersihkan jasmani agar badan menjadi sehat, maupun membersihkan jiwa dari segala nafsu yang buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun