Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemimpin Terkesan Merakyat, Masih Dibutuhkan?

20 September 2022   07:06 Diperbarui: 20 September 2022   08:54 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratu Elizabeth II (Foto: kompas.com)

Selera orang tentang gaya kepemimpinan, memang berbeda. Hal demikianlah yang menentukan arah kehidupan kita sebagai manusia, tanpa bisa menjauh.

Ada orang yang menginginkan pemimpin yang berada di puncak strata sosial. Keturunan bangsawan, memiliki banyak harta hingga berpendidikan lebih tinggi di atas rata-rata orang kebanyakan.

Ada orang yang menginginkan pemimpin dari kalangan "rakyat kebanyakan". Dia tidak harus berasal dari bangsawan bahkan bukan pula hartawan. Pendidikan pun bukan bagian dari pertimbangan memilihnya sebagai pimpinan.

Saya sendiri memiliki selera tersendiri untuk memilih pemimpin. Saya tidak suka pemimpin yang mengedepankan simbol-simbol artifisial, penuh kepalsuan.

Lantas, apakah seorang pemimpin harus menanggalkan simbol-simbol dari dirinya?

Tidak harus demikian. Simbol-simbol itu akan terus menempel pada seorang pemimpin.

Jika seorang raja memiliki mahkota, maka itulah simbol kepemimpinannya. Andaikan seorang presiden memiliki istana, demikianlah simbol kepemimpinannya. Kepala suku memiliki citra tertentu sebagai pembeda bagi warganya.

Simbol-simbol itu akan berubah, sesuai "selera pasar". Pernahkah kita bertanya, kenapa orang yang terlahir kaya dan tidak biasa berinteraksi dengan warga kelas III, tiba-tiba harus menyapa mereka yang tidak dikenalnya?

Karena begitulah selera pasar yang sedang trendi. Begitupula dengan para raja yang menonjolkan simbol kebesarannya _membedakan diri dari warga_ karena itulah keinginan kebanyakan orang. Andaikan masih ada yang berpikir demikian, bukan berarti ketinggalan zaman. Mereka masih suka dengan cara lama sebagaimana penyuka seni klasik yang enggan beralih ke seni kontemporer.

Hal yang terpenting, simbol-simbol itu memiliki peran dalam kehidupan keseharian. Jika simbol-simbol itu bisa mempersatukan suara rakyat yang bertentangan, kenapa tidak simbol itu dikedepankan. Ratu-raja pun tidak enggan menonjolkan itu karena mereka tahu hal demikian membawa pada ketentraman.

Namun, andaikan simbol "merakyat" tidak bisa menjamin persatuan dan ketentraman, lantas kenapa pemimpin harus terkesan "sama" dengan warganya? Bagaimanapun, pemimpin harus "berbeda" dengan rakyatnya. Karena dia memiliki keistimewaan yang memberinya hak untuk menentukan masa depan kehidupan.

Apakah anda berpikir, jika pemimpin "merakyat" pun akan usang? Zaman akan kembali merindukan pemimpin yang berbeda?

Manusia yang dianggap sama dengan rakyat kebanyakan, terlalu mudah dihinakan. Terlalu sering dikritik tetapi tidak membangun. Malah dijadikan bahan tertawaan.

Dan, pada akhirnya, media massa mesti kembali membuat citra jika pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang "istimewa". Bukan tanpa cela, tetapi dia siap untuk membuat rakyat tidak kecewa.

Media massa tidak usah terus memperlihatkan sosok pemimpin "terkesan merakyat", tapi tak sanggup mengelola. Realitanya, pemimpin adalah pengelola bukan pengobat duka lara semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun