Dalam budaya kami, membersihkan rumah hanyalah pekerjaan ibu rumah tangga. Dianggap tidak layak seorang laki-laki membersihkan rumah. Baik itu menyapu, mengepel atau sekedar membersihkan debu dengan kemoceng.
Sekali lagi, itu hanya pekerjaan ibu rumah tangga. Wanita yang tidak memiliki pekerjaan selain mengurus rumah tangga.
Namun, di zaman ini wanita pun banyak yang bekerja. Alasannya tentu saja untuk menambah penghasilan keluarga. Dan, membersihkan rumah bukan lagi hal yang wajib dilakukan.
***
Penilaian saya ini bukan tanpa dasar. Berdasarkan "penelitian" hingga bertahun-tahun saya bisa menyimpulkan jika masyarakat kami tidak merasa memiliki harga diri tinggi ketika melakukan kegiatan bersih-bersih. Baik itu bersih-bersih di rumah, tempat umum atau rumah ibadah.
Tidak akan dinilai "bagus" jika seseorang rajin bersih-bersih. Lucunya, kami akan menilai "luar biasa" orang yang bisa melakukan pekerjaan berat seperti memanggul sekarung beras. Aneh memang, pujian akan didapatkan pada orang demikian.
Entah kenapa, tradisi bekerja dengan tenaga masih mendapatkan tempat istimewa dalam budaya kami. Bahkan, demi itu orang rela mempertahankan cara kerja konvensional yang menggunakan banyak tenaga. Tidak mau beralih menggunakan peralatan agar lebih mudah.
Kegiatan bersih-bersih memang tidak menggunakan banyak tenaga sekaligus tidak menggunakan banyak pikiran.
Kegiatan yang tidak memperlihatkan keperkasaan sekaligus tidak memperlihatkan kecerdasan. Orang yang suka bersih-bersih tidak akan disebut "pekerja keras" apalagi "pekerja cerdas".
Seorang sarjana enggan bersih-bersih karena merasa tidak menjadi media untuk mengoptimalkan potensi kecerdasannya. Seorang berbadan tinggi besar rasanya enggan bersih-bersih karena tidak bisa memperlihatkan otot-ototnya yang besar. Tidak ada keringat bercucuran, ya tidak bekerja.