Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia-manusia Minim Kontribusi

4 Mei 2021   06:29 Diperbarui: 4 Mei 2021   06:32 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Disadari atau tidak, banyak diantara kita yang menjaga jarak dengan tanah airnya. Bagi sebagian orang, negeri ini tidak lebih dari tempat buang hajat hingga menunggu menjadi mayat. Maksudnya, tidak pernah menganggap negerinya sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri apalagi mengabdikan diri.

***

Kalau saya bandingkan dengan orang komunis, mungkin Anda akan tersinggung. Tapi, Anda juga akan tetap tersinggung kalau saya sebut Anda minim kontribusi bagi negara. Sedangkan, menuntut hak dari negara sudah menjadi kebiasaan bahkan tertanam dalam pikiran.

Mengoceh di media sosial tentang ketidaksanggupan negara menyejahterakan rakyatnya. Menjelek-jelekan kinerja Pemerintah lantaran tidak berimbas pada bertambahnya pendapatan harian. Lambat laun, kita menjadi manusia yang "membenci" negerinya sendiri.

Berbicara kecintaan pada negeri hanya dianggap sebagai isapan jempol semata. Nampaknya kecintaan pada diri sendiri lebih dominan. Buktinya, buang sampah masih sembarangan karena dianggap tidak merugikan. Ukuran kerugian hanya sebatas pada dirinya tanpa menghiraukan dampak lingkungan.

Saya berpikir jika sikap seperti itu sangat mempengaruhi keseharian kita. Ketika pagi menjelang, tidak ada alasan untuk melakukan banyak hal. Minim motifasi karena tidak ada niat untuk berkontribusi.

Tidak usah heran jika kita atau orang-orang sekitar tidak tergerak untuk beranjak dari tempat tidur dan menunggu nasib mengubah hidup ini. Tidak alasan baginya untuk berbuat sesuatu, apalagi jika tanpa imbalan seketika _hari itu juga.

Imbalan seketika itu masih menjadi motif kita untuk berbuat sesuatu bagi diri dan lingkungan. Kita menjadi pribadi yang individualis. Ada dalam pikiran kita jika melakukan sesuatu bukan untuk kepentingan bersama. Buat apa susah-susah jika tidak ada untungnya, pikirnya.

Motivasi spiritual masih kalah dengan motifasi finansial dalam berkarya. Nampaknya tidak terlintas dalam pikiran untuk mengabdi pada negara karena dianggap itu hanya urusan tentara. Kalaupun ada motifasi sprititual hanya berlaku pada aspek ritual. Membangun peradaban tidak dianggap sebagai bentuk penghambaan pada Yang Maha Kuasa. Kita terlalu nyaman dengan perasaan kita sendiri karena mengurung diri di rumah ibadah. Tapi, tidak terusik perasaan ketika menyaksikan kondisi lingkungan berantakan.

***

Sampai kapan kita akan menjadi manusia-manusia minim kontribusi. Raga kita benar-benar berpijak di negeri yang sama dengan orang yang banyak karya. Sayang, jiwa kita seakan sudah ada di akhirat sana. Lupa, kalau kunci masuk surga ya berkarya di dunia.

Berharap surga tapi tidak meninggalkan kebaikan di dunia. Ya, berdo'a bisa membuka pintu surga bagi manusia. Hanya saja saya masih bertanya-tanya, bukankah mengurus kehidupan dunia adalah syarat utama kita bisa masuk surga?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun