Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertengger di Puncak Kasta Sosial Memang Candu

3 Januari 2021   17:38 Diperbarui: 3 Januari 2021   18:55 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Si Ayam Jago yang nyaman bertengger dipuncak kasta sosial. (Dokpri.)

Bertengger di puncak tertinggi kasta sosial nampaknya memiliki kesenangan sendiri. Maka tidaklah heran ketika ada orang yang sangat menginginkan posisi seperti itu.

Saya pernah menyaksikan bagaimana seorang manusia begitu "bersemangat" mempertahankan posisinya sebagai pemimpin. Posisinya sebagai pemimpin tidak ingin tergoyahkan. Dengan berbagai cara dia raih kekuasaan, meskipun harus menempuh cara-cara yang tidak "beradab".

Buat saya, bukan masalah besar jika ada orang yang menginginkan dirinya berada di puncak kasta sosial. Menjadi seorang pemimpin adalah hal lumrah dalam sebuah komunitas. Sebagai makhluk sosial, manusia harus berbagi peran dan setiap individu memilik peran unik dalam tatanan kehidupan.

Permasalahan datang ketika ada orang yang meraih kepemimpinan harus dimulai dengan menyulut gejolak. Seorang raja saja harus bisa meredam gejolak diantara rakyatnya. Apalagi jika sekedar memimpin komunitas kecil di tengah masyarakat.

Demi menjadi seorang pemimpin, ayam jago harus berjuang melawan rivalnya demi menjadi mendapatkan kekuasaan dalam kelompok. Si ayam jago, akan berkelahi _bila perlu sampai mati_ demi menempati kasta tertinggi. Si ayam jago berhak untuk mengawini banyak betina dan menguasai teritori tanpa ada yang berhak mengganggu selain dia.

Begitulah hidup, usaha untuk menempati tempat tertinggi perlu cara yang disepakati. Perkelahian, meskipun itu menyakitkan bisa menjadi cara "terbaik" untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa. Tidak harus selalu demokrasi yang menjadi acuan mengangkat seorang pemimpin. Tetapi, kesepakatan dan kerelaan banyak orang untuk menyerahkan kekuasaan pada seseorang menjadi hal yang mutlak adanya.

Si betina nyaman dengan anak-anaknya. (Dokpri.)
Si betina nyaman dengan anak-anaknya. (Dokpri.)
Baiklah, bisa saja saya tidak suka pada seorang pemimpin atau calon pemimpin. Tetapi, jika komunitas sudah menyepakati dia menduduki tampuk kepemimpinan maka harus ada kerelaan untuk mengikuti arahan dan petunjuknya.

Seperti seekor betina yang "manut" pada si ayam jago. Kerelaan itu bukan hanya tentang ketundukan pada kekuatan si pemimpin tetapi demi sebuah kebaikan komunitas.

Lalu, bagaimana jika si ayam jago semena-mena dalam memimpin para betina? Jelas ketidaknyamanan yang akan ditimbulkan. Para betina bisa menebar gosip sesama betina lainnya demi menjauhi si ayam jago. Dan, ketidakpercayaan mulai menyeruak diantara mereka.

Apabila para betina dan ayam-ayam yang lebih muda sudah tidak percaya pada si ayam jago, maka tidaklah heran jika mereka menjauh. Para betina sudah tidak mau dikawini. Anak-anak ayam ketakutan bertemu si ayam jago bukan karena kewibawaannya tetapi rasa benci yang mulai memuncak.

Kasak-kusuk di sana-sini. Sesama anggota kelompok saling berkirim pesan untuk bersama-sama membenci si pemimpin. Sumpah serapah terucap dari mulut anggota kelompok. Bukan hanya doa supaya si ayam jago turun tahta, tetapi doa semoga celaka bahkan kehilangan nyawa ...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun