Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Kami Menjadi Petani?

30 Desember 2020   18:13 Diperbarui: 30 Desember 2020   21:15 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sawah dekat rumah (Dokpri.)

Menanam harapan, itu yang menjadi pijakan kami dalam bertindak. Bertani bukan hanya mengejar keuntungan jangka pendek, tetapi melestarikan kehidupan agar mendapatkan berkah dari Yang Maha Kuasa.

Menjadi seorang petani bukan hanya tentang mengejar cita-cita. Sebagaimana, seorang anak ditanya  tentang apakah cita-citanya nanti ketika dewasa. Menjadi seorang petani adalah aktualisasi diri sebagai kebutuhan utama manusia berdikari.

Kebutuhan bukan hanya tentang makan-minum dan buang hajat, tetapi kebutuhan dari dorongan untuk mewujudkan apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan. Jika kami tak mampu mewujudkan apa yang kami pikirkan dan kami rasakan, maka ketentraman hati tidak kami dapatkan.

Ketentraman hati itu adalah harta yang sangat berharga bagi kami. Jika kecukupan sandang dan pangan terpenuhi tetapi ketentraman hati tidak didapat, rasanya, hidup di dunia ini "tidak bermakna".

Benar juga kata Victor Frankl, jika motivasi utama manusia itu adalah mencari makna. Kami, terus termotivasi untuk mencari makna di balik apa yang kami lakukan. Dan, makna itulah yang memberi kami semangat untuk menanam dan menanam kembali harapan itu. Sebagaimana yang saya sebutkan tadi, menanam harapan itu begitu besar. Rasa lelah dan sengatan sinar matahari seakan hanya hiburan disela-sela kesibukan.

Jika kami diterpa secara fisik _dan banyak orang yang tidak sanggup menanggungnya_  maka kami sangat "menikmati" terpaan-terpaan fisik itu. Apabila pagi hari orang masih berselimut tebal, maka kami berjalan kaki menyusuri jalan yang masih dihiasi embun pagi. Jika siang hari kami tak mau beranjak pergi begitu saja, karena buat kami matahari dianggap teman untuk bercengkrama.

Ah, tulisan saya terkesan puitis. Tapi, begitulah hidup kami. Sangat bisa melihat sisi keindahan di bumi ketika kemelut selalu terjadi di sana-sini. Hijaunya dedaunan merupakan sumber oksigen yang membuat kami lebih sehat. Padahal, di tempat lain oksigen dihargai tinggi.

Sesekali burung-burung menemani kami menggali bongkahan tanah-tanah basah. Mereka bernyanyi untuk menyemangati, dan kami mendengar jika mereka pun membutuhkan uluran tangan kami. Jika artis ibukota harus dibayar mahal agar bisa menggelar konsernya, burung-burung itu cukup diberi sebagian kecil hasil jerih payah kami. Sebulir padi.

***

Menjadi petani bukan tentang harga diri, apalagi gengsi. Apa yang bisa kami banggakan ketika kesejahteraan tak kunjung didapatkan?

Bukan tentang membangun negeri atau sekedar mengikuti perintah Pak Menteri. Menjadi petani bisa dianggap sebagai seni untuk menempatkan diri. Apabila profesi lain dianggap bisa mengangkat pamor maka para petani malah mengundang kotor. Buat kami, ada sisi "humanis" yang tidak akan bisa dimengerti oleh orang-orang yang sekedar berdiri di pinggir tanpa memasukkan kakinya ke lumpur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun