Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Sinetron dan Demonstrasi, Sama-sama Menguras Emosi

8 Oktober 2020   20:41 Diperbarui: 8 Oktober 2020   20:48 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekspresi karena emosi (Sumber: @pasagicomic)

Ketika menulis artikel ini, saya sedang menemani Ibu dan Nenek menonton sinetron. Kalau jeda iklan, salurannya diganti sama berita seputar kejadian yang jadi kehebohan nasional. Itulah, demontrasi di sana-sini.

Menonton sinetron nyaris sama dengan menonton para demonstran, menggunakan emosi dalam menyikapi. Meskipun saya tahu sinetron hanya sandiwara, tapi bagaimanapun emosi bisa teraduk-aduk.  

Juga, menonton orang demontrasi bisa mengesampingkan akal sehat. Terkadang, kita merasa terwakili karena sama-sama tidak suka pada penguasa yang bertindak tidak sesuai selera.

Namanya juga drama, hal yang jadi "barang dagangannya" adalah perasaan si penonton itu sendiri. Dengan durasi yang sama, apa yang ditampilkan bisa berbeda antara satu acara dengan acara yang lain dalam hal pengaruhnya pada emosi si penonton.

Demontrasi, juga melibatkan emosi. Saya yang menonton dari rumah tidak pernah benar-benar paham apa yang diperjuangkan para demonstran. Hal yang saya rasakan, hanyalah "puas" ketika para penguasa dilawan dari berbagai kawasan.

Saya termasuk generasi yang menyaksikan demonstrasi besar-besaran di 1998. Masa itu, keruntuhan suatu pemerintahan dianggap sebagai bentuk kemenangan. Perasaan "menang" itu juga masih dirasakan ketika gelombang demonstran berdatangan membanjiri jalan Ibu Kota.

Seperti yang sering ditampilkan dalam sinetron, yang dizalami vs yang menzalimi selalu menjadi tema langganan. Sejak tahun 90-an, sinetron seperti itulah yang sering menduduki puncak rating. Jika "lempeng-lempeng" saja maka jangan aneh minim penonton.

Demi mengaduk emosi, baik demonstran atau penonton dari kejauhan, berita disiarkan ke sana-sini. Tidak jarang berita bohong disebarkan agar orang tergugah untuk melakukan perlawanan. Substansi, jauh dari kata "mengerti" yang penting ikut meramaikan.

Jika emosi sudah tersentuh, saya yang tidak mengerti subtansi pun ingin ikut bicara. Karena jauh dari Ibu Kota, ya hanya bisa bicara di social media. Lucunya, apa yang diunggah sering jauh dari topik. Asal "menyerang", hati sudah senang.

Walaupun tidak mengerti substansi, karena suka "ngomporin" lewat tulisan dan lukisan, jadinya saya pun gatal ingin "dikenal". Aha, jangan-jangan demontrasi yang minim substansi itu memiliki perasaan yang sama dengan saya, hanya ingin terkenal di media sosial.

(Dari berbagai sumber)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun