Busyet dah! Negeri ini kadung dicap negeri tukang impor. Dari perabot rumah tangga hingga kapal jet, semua impor. Eh, nggak semua sih ada kok produk dalam negeri.
Wacana mengimpor Rektor rada menggelitik saya. Aduh, sebenarnya malu ngomonginnya. Selain karena pendidikan saya nggak tinggi, ini urusan tingkat tinggi. Tapi, karena Kompasiana bisa dijadikan forum curhat ya bolehlah saya mengeluarkan unek-unek di sini.
Rektor produk dalam negeri, apa kurangnya ya? Kok harus impor segala. Apa disini kekurangan bahan baku hingga harus impor.
Manusia disini kan banyak banget. Memangnya orang sini tidak ada yang mampu memimpin perguruan tinggi?
O ya, kan barang impor tuh. Apakah ada pajaknya nggak ya? Kalau pajaknya tinggi, otomatis harganya juga tinggi...
Kalau mengimpor rektor, otomatis kan mengimpor  'isi pikirannya'. Nah, bagaimana kita bisa tahu isi otak si rektor kalau tidak ada alat pemindai alam pikiran manusia. Kalau memindai barang kan gampang. Di pabean bakal kelihatan 'daleman' tuh barang kalau lewat x-ray.
Kebayang nggak, gimana cara pabean memindai isi otak si rektor. Takutnya sih dia bawa 'pemikiran haram' ke negeri ini.
Bisa saja kan si rektor agak 'kacau' kalau ngomongin agama. Ya, kita pahamlah di negeri seberang para ilmuwan rada 'rancu' kalau ngomongin masalah agama. Padahal, di sini urusan agama menjadi masalah utama. Di sana? Kayaknya enggak.
Budaya sih bolehlah bertukar, kalau positif mah. Misal, budaya kerja yang lebih baik. Juga, budaya akademik yang lebih relevan dengan kebutuhan.
Bagusnya, banyak juga sih kalau rektor impor. Nilai ini dan itu bisa meningkat. Kualitas bisa setara dengan kampus luar.
Jeleknya? Apa ya?