Masalah Politik Masih Menggelitik
Berkomentar pedas, itu sih yang terpikir oleh saya ketika memperhatikan linimasa akhir-akhir ini. Mendapatkan kepuasan tersendiri apabila sudah bisa "mengekspresikan" isi hati.
Huh, kalau menulis komentar yang menyulut emosi orang lain rasanya tuh bangga. Seakan omongan kita adalah yang paling benar, dan tentu saja yang lain salah.
Di Bulan Ramadhan tahun ini, kebetulan bertepatan dengan proses perhitungan hasil Pemilu 2019. Jasmani sih berpuasa, tapi rohani tergoda juga.
Angka-angka yang 'membingungkan' berseliweran di media massa tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hal itu merangsang pikiran untuk menyiapkan kalimat kritis atau malah 'bombastis' supaya orang di luar sana tahu kalau kita tidak bisa dibohongi begitu saja.
Subjektifitas. Itulah yang mendorong saya _dan tentu juga yang lain_ untuk berkomentar pedas di media sosial. Selama itu menyangkut pilihan politiknya, maka siap saja untuk mengetik kata-kata yang menggelitik, menghardik bahkan fanatik.
Dalam otak saya, seakan tercipta suatu mekanisme "bertahan diri" dan "menyerang" dimana berguna untuk menyusun kata demi kata. Mekanisme di otak ini, menghasilkan suatu "karya" yang menghiasi linimasa.
Menurut saya, karena mekanisme inilah kita semakin "produktif" berkomentar di media sosial. Sebagaimana seorang Gamers yang bisa menyusun taktik untuk mengalahkan lawannya, maka seorang Commenters pun menyusun taktik itu.
Sering saya melontarkan kalimat 'pemancing' agar lawan bicara memberikan komentar yang sedikit pedas. Nah, disitu mulailah kita saling 'bertengkar' tanpa dasar. Ya, bukannya berdiskusi yang menghasilkan pengetahuan, malah bertengkar.
Senang Jika Merasa Menang
Nah, kalau pertengkaran tak kunjung berakhir itu berarti tidak ada yang mau mengalah. Mengalah? Gengsi rasanya.