Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ikan Sarden: Selamat Jalan Pak Raden

6 November 2015   11:07 Diperbarui: 6 November 2015   13:00 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adakah hajat yang bisa menghimpun bocah seantero Nusantara dalam satu waktu? Rasanya, zaman sekarang nyaris tak mungkin. Tapi bagi kanak-kanak yang pernah hidup di era 80-an, rasanya kita punya kenangan yang sama: Film Boneka Si Unyil!  

Beginilah ritual kami di setiap hari minggu menjelang siang..Tersaruk-saruk kami melangkah menyusuri jalan tanah setapak sepanjang lebih 3 Km. Arah kaki kami menuju rumah berhalaman luas di desa seberang; rumah juragan kaya si empu tivi hitam putih yang juga seorang priyayi Jawa.

Desa kami—sebuah pedukuhan kecil di Banyuwangi, hingga akhir dekade 1980-an memang belum teraliri setrom listrik. Gara-garanya, telah lewat tiga kali Pemilu digelar, mayoritas warga desa kami enggan memilih Partai berlambang Beringin. Hukuman penguasa ini hanya bisa kami rutuki dalam hati, tiap kali kami harus berjalan kaki demi menonton tivi yang hanya bisa kami nikmati di minggu pagi.

Kami biasanya telah tiba 30 menitan sebelum tayangan dimulai. Telat sedikit, berarti kami harus rela menonton sambil berjinjit di sela kepala dan bahu yang tak hirau dengan penonton yang kebagian menonton di serambi rumah.

Menjelang siang, pintu rumah juragan itu dibuka. Kami pun beringsut masuk sambil berhimpitan di depan kotak kayu warna hitam seukuran kardus mie instan. Kami duduk, kami diam, dan kami khusyuk—melebihi khusyuk kami sewaktu sholat. Begitulah tata krama yang diajarkan ke kami jika bertandang ke rumah priyayi.

Tapi inilah balasan bagi yang bersabar. Lelah, sesak dan peluh kami buyar seketika tatkala Sang Juragan menyalakan Tivi tepat menjelang acara yang kami tunggu-tunggu: Film Boneka Si Unyil.

Apa yang menarik dari film boneka ini? Entahlah..sebab jika film ini disuguhkan ke penonton zaman sekarang, aku tak yakin jika tayangan ini bisa meraih rating.

Tapi bagi kami, anak-anak yang tumbuh sebelum permainan anak-anak dirampas oleh video game dan tontotan digital lainnya, Film Boneka Si Unyil ini benar-benar menjadi tontonan wajib kami. Jalan ceritanya yang sederhana dengan sisipan pesan moral yang membumi, tanpa kami sadari telah merasuk dalam ingatan kami; bahkan hingga detik ini.

Tokoh-tokohnya yang beraneka latar belakang suku, agama dan ras, mencerminkan keragaman khas ala Indonesia; Unyil, Ucrit, Usro, Cuplis, Meilani, Pak Ogah, Pak Raden, Bu Bariah adalah wajah Indonesia yang sebenarnya.

Dan, setiap pekan bertahun-tahun lamanya, selama tak lebih 15 menit tanpa jeda iklan, anak-anak Indonesia di era 80-an, takzim di depan tivi hanya untuk melihat Boneka tangan yang bahkan tak bisa menggerak mulutnya itu beraksi di kotak tivi.

Adalah Drs. Suryadi, seorang seniman serba bisa, dalang dari tontotan legendaris ini. Secara pribadi aku memang tak mengenalnya. Tapi tepat setahun yang lalu, diawaki oleh beberapa orang yang prihatin dengan kesehatan dan kehidupan ekonomi tokoh Pak Raden dalam serial Si Unyil ini, mereka lalu menggalang sebuah perkumpulan, bernama IKAN SARDEN: Ikatan Anak Cucu Sayang Pak Raden. Istriku dan kawan-kawannya ikut dalam perkumpulan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun