Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Money

Wedding Party di Ladang Kopi, Suatu Trend Baru?

4 Oktober 2016   14:37 Diperbarui: 4 Oktober 2016   14:41 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini wedding party ditengah ladang kopi, di Kampung Paya Tumpi Aceh Tengah, 3 Oktober 2016 [Foto: dokpri]

Pesta perkawinan [pernikahan] atau wedding party dirayakan dalam sebuah gedung mewah atau di halaman rumah, itu tergolong hal biasa. Menutup jalan umum demi tersedianya tempat untuk tetamu, itu pun sering dijumpai. Dan akhir-akhir ini, beberapa stasion televisi memberitakan keunikan sebuah pesta perkawinan, ada yang diselenggarakan di dasar laut, maupun di puncak gunung.

Pernahkah pembaca terpikir apabila sebuah pesta perkawinan diselenggarakan ditengah ladang kopi? Selaian dipenuhi tanaman kopi yang sedang berbuah, anda memperoleh makan siang dan minuman penutup berbahan baku kopi arabika, seperti espresso, americano caffe, cappucino maupun cafelatte.

Mewah? Bagi warga di perkotaan, penyajian menu tambahan untuk para tetamu pasti dianggap sebagai “barang” mewah. Bagaimana tidak, disejumlah cafe internasional, harga menu tersebut selangit. Misalnya, untuk segelas kecil Espresso dibandrol Rp.18.000, Americano Caffè dibandrol Rp.25.000, Caffè Latte dibandrol Rp.32.000, dan Cappuccino dibandrol Rp.34.000. Harga ini belum termasuk pajak restoran 10%.

Tidak demikian halnya bagi para petani di Dataran Tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Mereka tidak mampu menyewa gedung dengan aneka menu mewah dan pelaminan mahal. Tiada pilihan lain, mereka “terpaksa” menyelenggarakan pesta perkawinan putra atau putrinya ditengah ladang kopi. Kesederhanaan ini bagi para petani adalah suatu kelumrahan, bukan kemewahan.

Lantas, anda jangan kaget apabila pada wedding party itu disajikan secangkir espresso dengan potongan gula aren sebagai minuman penutup. Mewah? Kesanya memang mewah dimata warga perkotaan. Sebaliknya tidak bagi para petani, karena espresso adalah minuman paling murah yang bisa disajikan kepada para tetamu.

Masa sih? Benar, dua bulan sebelum acara pesta, mereka sudah memetik buah kopi terbaik [biasanya jenis biji kopi long berry] dari ladangnya. Biji kopi itu diproses dan dijemur hingga kadar airnya tinggal 10%, sampai membatu, keras dan tidak tergigit lagi. Dua atau tiga hari menjelang hari H, biji kopi yang sudah berbentuk green bean tersebut disangrai ke jasa roasting di kota Takengon.

Ongkos sangrai cukup murah. Cukup keluarkan uang Rp 25 ribu per 1 Kg green bean atau setara 1 cangkir Americano Caffe, ditangan anda sudah ada roasted coffee bean [biji kopi yang sudaj disangrai]. Biasanya, untuk kebutuhan minuman penutup tetamu dan panitia, diperlukan 10 Kg biji kopi yang sudah disangrai [roasted coffee bean]. Sebanyak 5 Kg digrinder menjadi coffee powder [bubuk kopi], sedangkan yang 5 Kg lagi dibiarkan dalam bentuk  roasted coffee bean.

Nah, dengan mengeluarkan uang Rp 250 ribu, mereka sudah memiliki 5 kg roasted coffee bean sebagai bahan baku espresso, dan 5 Kg coffee powder yang akan diseduh dengan air panas menjadi kopi tubruk. Murah bukan?

Terus, mungkinkah seorang petani dapat mengolah roasted coffee bean menjadi secangkir espresso layaknya minuman buatan cafe internasional? Kenapa tidak, di Takengon banyak yang menyewakan coffee maker atau espresso machine. Dengan mengeluarkan uang Rp 300 ribu atau Rp 500 ribu [tergantung merek coffee maker], anda sudah bisa memanfaatkan mesin pembuat espresso itu selama sehari penuh.

Bagi para petani di Dataran Tinggi Gayo, wedding party ditengah ladang kopi bukan trend baru, tetapi suatu keniscayaan. Acara semacam itu sudah berlangsung secara turun temurun, bukan hari ini atau kemarin, tapi sejak puluhan tahun lalu. Bukan pula mereka ingin mencari sensasi, tapi karena kondisi ekonomi dan kemampuan keuangan yang sangat terbatas. Sebenarnya, [apabila ditanya] mereka pasti ingin memeriahkan wedding party disebuah gedung mewah dengan menu serba wah, tapi apa daya “tangan tak sampai.”

Sebaliknya, dimata warga perkotaan, wedding party di ladang kopi penuh sensasi karena menimbulkan kesan mewah dan mahal. Apalagi didepan pelaminan ada tanaman kopi yang sedang berbuah merah, seolah-olah event organizer-nya sengaja menata seperti itu. Padahal kondisi itu adalah natural. Ditambah lagi, diatas meja tetamu diantara tanaman kopi, tersaji secangkir espresso sebagai minuman penutup. Bayangkan, anda serasa benar-benar berada di sebuah cafe taman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun