Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rezeki Tak Halal Harus Dikembalikan Dalam Bentuk Lain

7 November 2011   08:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:58 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernahkah pembaca mengalami kecopetan, kehilangan barang, kehilangan uang, atau tiba-tiba membayar sesuatu yang diluar perhitungan dan rencana? Mudah-mudahan pembaca tidak pernah mengalami peristiwa sial semacam itu. Namun bagi pembaca yang pernah mengalami kejadian seperti itu perlu membaca ulasan ini.

Kisahnya begini. Sebagai manusia, sesungguhnya kita sudah diberikan batasan rezeki halal oleh Sang Khalik. Batasan itu berbentuk kemampuan seorang manusia (dengan kerja keras yang sangat luar biasa) dalam mengumpulkan rezeki halal sepanjang hidupnya. Inilah rezeki yang diridhai-Nya. Kata orang-orang bijak atau para kyai sebagai rezeki yang penuh barokah.

Namun, bagi manusia yang serakah, loba dan tamak, tidak pernah tertutup kemungkinan untuk mengumpulkan rezeki diluar batas halal yang sudah ditentukan. Meskipun dalam kitab suci yang diyakininya sudah jelas dilarang untuk mengambil yang bukan haknya, bahkan bagi yang melanggar akan berdosa. Dalam hukum positif di negara kita, jika mengambil hak orang secara tidak sah dan bisa dibuktikan akan dikenakan hukuman badan. Ehh...mereka malah berkata: yang harampun sudah hampir habis, apalagi yang halal.

Pernahkah disadari jika mengumpulkan rezeki melebihi batas rezeki halal yang sah, suatu saat harus dikembalikan lagi dalam bentuk yang lain? Masih ingatkah bunyi Hukum Thermodinamika II? Bunyinya kira-kira, “energi itu tidak pernah habis, hanya berubah bentuk.” Misalnya, nasi yang kita makan sebagai sumber energi, kemudian keluar menjadi kotoran yang didalamnya tersedia sumber energi untuk berbagai mikroba. Sejumlah mikroba itu akan menjadi sumber energi bagi makhluk yang lain, dan akhirnya makhluk-makhluk itu menjadi sumber energi bagi manusia.

Apabila batas rezeki halal yang telah ditentukan untuk kita, katakanlah sepanjang 10 meter, tetapi kita ingin memiliki rezeki sampai 30 meter, bisa-bisa saja. Pastinya, yang 20 meter itu jelas bukan hak kita. Malah yang banyak terjadi, sumber rezeki halal tidak dioptimalkan melainkan lebih banyak menggarap sumber-sumber yang tidak halal. Jadilah mereka orang kaya raya, hidup mewah, bergelimang harta benda dari sumber yang bukan haknya.

Katakanlah kelebihan 20 meter yang sudah kita ambil tadi, dapat dipastikan bukan hak kita melainkan hak orang lain, tentu harus dikembalikan. Kapan, dimana dan bagaimana proses pengembalian itu, hanya waktu yang menentukan. Tinggal mencermati setiap peristiwa yang dialami.

Boleh jadi saat berada disebuah mall, dompetnya dicopet oleh orang lain, bisa juga tiba-tiba mobil yang dikendarainya menabrak mobil milik orang lain maka terpaksa membayar biaya perbaikan. Mungkin saja harus keluar biaya besar untuk menutup sebuah aib, atau terkuras habis hartanya untuk biaya berobat. Tak tertutup kemungkinan, rekeningnya dibobol oleh orang lain.

Sangat banyak peristiwa yang menyebabkan orang harus mengembalikan rezeki tidak halal yang terlanjur dikuras, dalam bentuk yang berbeda dan tak terduga. Siapa yang mengetahui kalau sebuah peristiwa itu bukan cobaan atau ujian dari Sang Khalik, tetapi proses pengembalian rezeki yang tidak halal? Hanya yang bersangkutan dengan Sang Khalik.

Jika begitu halnya, untuk apa memaksakan diri mengumpulkan rezeki yang tidak halal bila suatu saat harus dikembalikan dalam bentuk yang lain. Untuk apa kaya raya jika hati selalu gundah gulana karena selalu khawatir. Mari cari rezeki halal yang penuh barokah, tanpa perlu khawatir untuk mengembalikannya dalam bentuk yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun