Mohon tunggu...
Moh. Samsul Arifin
Moh. Samsul Arifin Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka membaca dan menulis apa saja

Saya suka menulis, dan membaca apa saja

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Covid di Bangkalan Tidak Akan Berakhir Jika... (Analisis Komunikasi Sosial)

28 Januari 2021   13:57 Diperbarui: 28 Januari 2021   14:01 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
via austpost.com.au

Di Indonesia, dua pasien positif Covid awal maret yang diumumkan tahun lalu kini telah menjadi lebih dari 927 ribu, dengan jumlah pasien sembuh sebanyak 754 ribu tapi korban meninggal mencapai angka 26 ribu (JHU CSSE COVID-19 DATA). Kita tidak sedang belajar matematika, puluhan ribu yang telah meninggal itu adalah sebagian dari 2 juta orang yang tinggal kenangan di seluruh dunia karena wabah Covid-19. Di bangkalan sendiri, tak kurang dari 751 orang positif terinfeksi (merdeka.com). Komunikasi pihak-pihak yang bertanggung jawab yakni pemerintah (termasuk pula instansi kesehatan nasional terkait penanganan pandemi) dan masyarakat dalam mengatasi masalah ini sangat perlu dibenahi.

Dalam ilmu komunikasi kita mengenal istilah noise (gangguan komunikasi). Yaitu gangguan komunikasi yang menyebabkan pesan dalam komunikasi tidak tersampaikan dengan baik. Noise ini bisa berupa 5 jenis, gangguan fisik, teknis, semantik, psikologis dan kultural (West dan Turner, 2008).

Diamati, kita telah berada dalam sistem komunikasi yang tidak baik, sehingga penanganan pendemi terasa benar-benar lemah. Akibatnya jumlah penderita tidak pernah turun, terus saja melonjak dan memprihatinkan.

Berikut amatan kami, bagaimana gangguan komunikasi yang dimaksud di atas bisa terjadi:

Pertama, gangguan fisik yang disebabkan kondisi biologis. Kelompok Disabilitas Yang Memiliki Metode Komunikasi Khusus. Komunikasi dari otoritas kepada mereka mengalami gangguan kalau informasi corona di TV tidak menyertakan Bahasa Isyarat. Begitu pula dengan disabilitas netra yang tidak dapat menerima informasi melalui media cetak atau media luar ruang seperti pamflet atau infografis Covid-19.

Kedua, adalah gangguan teknis, bisa terjadi jika ada komponen teknis yang menghambat tersalurnya pesan dalam komunikasi. Misalnya, jaringan internet atau kuota data yang memungkinkan untuk mendapatkan perkembangan informasi teranyar tentang kasus corona melalui situs resmi pemerintah. Ini dapat berdampak pada lemahnya kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman wabah.

Ketiga, adalah gangguan semantik (bahasa) yang disebabkan oleh masalah kebahasaan dalam mengirim dan menerima pesan (informasi). Begitu banyak sudah para ahli berkomentar di berbagai media dalam menjelaskan virus corona. Sayangnya, tidak jarang mereka menggunakan bahasa yang sulit untuk dipahami oleh orang awam. Di antara istilah populer misalnya lockdown, social distancing, hand sanitizer, mortality rate, ODP, dan PDP. Pemakaian istilah "Penutupan Tempat Ibadah" memberi kesan adanya larangan untuk beribadah. Padahal, maksud pemerintah ialah mengimbau masyarakat untuk menghindari keramaian (kerumunan), termasuk kerumunan jamaah saat ibadah di masjid, gereja dll. Tiap kelompok memiliki karakteristik dan kemampuan bahasa yang beracam-macam.

Kemudian, yang keempat, adalah gangguan yang berdimensi psikologis. Konsep "frame of reference" dari Wilbur Schramm (1971). Menjelaskan bahwa "komunikasi dipengaruhi oleh keseluruhan pengalaman, nilai-nilai, harapan, status sosial ekonomi, hingga preferensi politik individu. Semakin luas jurang perbedaan frame of reference antara komunikator dengan komunikan, maka akan semakin besar pula gangguan komunikasinya." Dalam kasus Covid-19 di Bangkalan, heterogenitas masyarakatnya (baik yang terjadi karena perbedaan status sosial ekonomi atau politik) membuat seperti apapun bentuk pesannya akan diterjemahkan berbeda.

Ketidakpatuhan masyarakat (jika boleh saya sebut begini) terhadap imbauan pembatasan sosial juga dapat disebabkan ketidakpahaman terhadap konten informasi atau bahkan adanya prasangka politis dari masyarakat terhadap pemerintah dan juga media. Fiske (1987:126) dalam bukunya Television Culture pernah menjelaskan bahwa konsumen media memiliki agensi untuk membentuk makna sesuai keinginan mereka sendiri. Misalnya, kampanye "Darurat Corona" dan "social distancing" dapat dimaknai oleh kalangan tertentu sebagai bagian dari teater politik penguasa untuk mempertahankan pengaruhnya.

Yang terakhir, faktor kultur yang memungkinkan penerapan social distancing sulit dilakukan. Seperti yang kita ketahui, sebagai masyarakat agamis dan pekerja keras, kita punya tradisi-tradisi dalam bentuk pertemuan sosial yang sangat tinggi. Acara keagamaan dan atau kegiatan ekonomi kita masih mensyaratkan hadir dan bertemu (berkerumun) misalnya pengajian, bekerja di pasar dll.

Lantas pelajaran apa yang harus dipetik dari fenomena komunikasi di atas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun