"Di antara cewek-cewek ini, mana yang kamu suka?"Â
Seorang teman gadis bertanya pada Rika di tengah beberapa teman mahasiswinya. Mereka duduk bersama di sebuah warung dekat kampus pada malam hari. Hari itu, mereka habis menyelesaikan satu agenda di tempat magangnya yang berada di Yogyakarta. Rika memang lebih banyak diam jika berkumpul.
Namun, ia, entah mengapa, menjadi objek pertanyaan aneh dari teman-temannya. Ia merasa, tidak selayaknya dirinya diajak bicara semacam itu. Tidak seperti teman-temannya yang kalau diajak bicara selalu tentang kejadian sehari-hari. Seperti teman-temannya, kuliahnya, maupun aktivitas magangnya.
Hanya dirinya yang selalu ditanya siapa cewek yang disukai.
Ia diam bukan karena tidak ingin mengobrol dengan siapapun. Entah mengapa, rasa malu lebih menguasai dirinya daripada keberanian untuk percaya diri. Bahkan, untuk mengobrol sepatah dua patah kata pun.
Kata orang, barang siapa yang tidak pernah berbicara dengan orang lain walaupun hanya beberapa kata saja ia dikatakan sombong. Akibatnya, orang menjadi tidak suka dengan dirinya karena sikap diamnya. Ia tak menyadari, hal itu masalahnya.
Suasana temaram warung itu menjadi terasa syahdu. Teman-teman Rika berkumpul menikmati hidangan sambil melihat suasana kota di malam hari. Tak tampak kemacetan akibat menumpuknya kendaraan.
Di warung, Rika hanya duduk termangu sambil merapalkan tangannya. Teman-teman yang lain masih menunggu ekspresi balasannya. Mereka adalah adik tingkatnya yang beda satu tingkatan. Bahkan, beda dua tahun umurnya.
Kata orang, kalau mau bicara sesuatu bicaralah tentang apa yang disukai. Jika hobinya main game maka pembicaraannya lebih pas kepada yang sehobi. Jika bicara tentang pacar maka mereka bisa bicara kepada temannya yang pernah pacaran. Tapi, kenapa harus pertanyaan tak masuk akal itu yang harus dilontarkan padanya. Tidak tahu.
Rika masih diam dengan tatapan nanar. Mukanya menunduk tidak tahu bagaimana harus merespon. Ia memang remaja dalam wujud fisiknya. Namun, kenapa pertanyaan semacam itu yang harus terlontar.
Bagaikan lemparan bogem mentah, ia merasakan kecamuk dalam batinnya sendiri. Ia juga merasa dirinya bodoh jika ditanya semacam itu. Inginnya, ia diajak bicara seputar hal-hal serius yang memancing daya nalar. Seperti diskusi isu kekinian, diskusi politik, teori kesenian, dan peristiwa sejarah.