Mohon tunggu...
Muhammad Reihan Prasetya
Muhammad Reihan Prasetya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Sarjana, Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Orientalisme dan Wacana Pembentukan Koalisi Poros Partai Islam dalam Kontestasi Pemilu 2024

20 April 2021   00:54 Diperbarui: 20 April 2021   01:08 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Orientalisme merupakan salah satu pandangan yang dibentuk oleh orang-orang Barat terhadap budaya-budaya yang berada di Timur. Orientalisme ini merupakan salah satu pemikiran yang termasuk dalam studi postcolonialism atau pascakolonial. Ide utama dari pandangan orientalisme adalah budaya yang berasal dari Barat lebih modern dibandingkan budaya yang berasal dari Timur. Dalam hal ini, terlihat adanya kesenjangan antara perlakuan orang-orang Barat terhadap budaya yang mereka miliki dengan budaya yang berasal dari orang-orang timur.

Edward Said merupakan salah satu tokoh pemikir yang membahas tentang konsep dan pandangan orientalisme. Edward Said merupakan orang keturunan Palestina-Amerika yang menempuh pendidikan di Eropa. Fokus kajiannya adalah sejarah dan perkembangan sastra, khususnya budaya-budaya yang ada di wilayah Timur. Salah satu produk pemikiran intelektual yang dihasilkan oleh Edward Said adalah pemikirannya terhadap orientalisme. Menurut Edward Said, orientalisme didefinisikan sebagai "...Western style for dominating, restructuring, and having suthority over the Orient".[1] 

Posisi Barat yang memiliki dominasi, restrukturisasi, dan otoritas atas Timur ini didasarkan pada kolonialisme yang sebelumnya dilakukan oleh Barat terhadap orang-orang Timur. Salah satu budaya yang menjadi ciri khas dari Timur adalah budaya yang berasal dari Islam. Dapat dikatakan bahwa budaya Islam ini merepresentasikan budaya Timur yang menjadi fokus dari kajian orientalisme. Sejak berakhirnya perang dunia kedua hingga saat ini, orang-orang Barat merasa lebih superior dibandingkan orang-orang Timur. Bahkan, tingkat modernisme dan kemajuan peradaban dinilai atas dasar-dasar pemikiran yang berasal dari Barat.

Hal inilah yang memicu banyak tokoh-tokoh dari Timur untuk mendefinisikan kembali tentang orientalisme. Tujuannya adalah untuk membangkitkan dan menyadarkan dunia Timur bahwa pandangan terhadap Timur yang dianggap tradisional adalah sebuah kesalahan berpikir orang-orang Barat. Dalam buku Edward Said berjudul Orientalism, dikatakan bahwa "...in terms specifically claiming for Europe --European science, scholarship, understanding, and administration---the credit for having made the Orient what it was now".[2] Klaim modernitas dalam bidang keilmuan ini didasarkan atas klaim historis orang-orang Barat karena telah melakukan berbagai perubahan di Asia saat melakukan kolonialisme di dunia Timur. Keadaan ini didukung oleh posisi Eropa yang sedang mengalami era kemajuan dalam bidang budaya dan sains (Renaissance) saat itu.

Perkembangan Islam sebagai sebuah budaya menjadi kajian khusus dalam memahami pandangan orientalisme yang berkembang di negara-negara Eropa pascakolonialisme. Hal ini tidak hanya berpengaruh terhadap pandangan orang-orang Eropa terhadap budaya Islam, melainkan juga pandangan orang-orang Asia itu sendiri dalam memahami budayanya, termasuk di Indonesia. Dinamika politik di Indonesia masih dipengaruhi oleh budaya Islam dan masih banyaknya penggunaan politik identitas agama Islam sebagai kekuatan politik utama, terlebih lagi di masa kontemporer ini.

Salah satu kasus yang berkaitan dengan orientalisme di Indonesia adalah wacana pembentukan koalisi poros partai Islam sebagai dasar kekuatan partai politik Islam di Indonesia. Kemunculan wacana ini diawali dengan pertemuan antara Presiden PKS, Ahmah Syaikhu dan Ketua Umum PPP, Suharso Monoarfa untuk membahas mengenai kerja sama koalisi dalam Pemilu 2024. Koalisi ini terbuka untuk partai-partai lain yang ingin bergabung dalam koalisi poros Islam pada kontestasi Pemilu 2024. Hal inipun mendapat sambutan yang baik dari Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra.

Dalam membentuk koalisi ini, tentunya perlu mendapatkan legitimasi dari undang-undang yang berlaku di Indonesia. Meskipun kepentingan partai dan mazhab yang dianut oleh masing-masing partai politik cenderung berbeda, namun dalam kontestasi politik hal-hal tersebut bisa dikesampingkan. Koalisi poros partai Islam yang dibentuk guna menguatkan partai politik Islam pada Pemilu 2024, diharapkan dapat terealisasi dengan baik dan membutuhkan kerja sama antarpartai yang tergabung dalam koalisi tersebut. Bicara soal koalisi partai, yang terpenting bukan membicarakan persoalan calon pasangan Presiden-Wakil Presiden yang diusung, melainkan integrasi yang terbentuk antarpartai dalam koalisi tersebut.

Namun, rencana pembentukan poros partai Islam ini mendapatkan banyak kontra dari partai-partai Nasionalis dan para pengamat politik. Tentunya, rencana pembentukan koalisi poros partai Islam ini tidak akan mendapatkan legitimasi dari partai-partai Nasionalis. Dengan dibentuknya koalisi poros partai Islam, maka koalisi tersebut akan mendominasi kekuatan suara yang diterima pada Pemilu 2024 dan menyebabkan lemahnya kekuatan partai-partai Nasionalis. Melihat fakta pada Pemilu 2019 bahwa tingkat pemilih beragama Islam di Indonesia adalah yang tertinggi, yaitu sebesar 89,5%.[3] Dengan dominasi yang kuat dalam koalisi poros partai Islam, tentunya akan memengaruhi fokus kebijakan yang dihasilkan oleh koalisi ini apabila menang dalam Pemilu 2024. 

Budaya Islam dalam politik Indonesia seringkali dikaitkan dengan politik identitas yang memiliki stigma negatif di masyarakat. Kekuatan yang dimiliki oleh organisasi massa Islam di Indonesia, dinilai berjalan ke arah sikap yang radikal dan mengancam substansi dari demokrasi yang berlangsung di Indonesia. Padahal, terbentuknya politik identitas di tengah masyarakat merupakan konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi. Dalam melihat hal tersebut, pembentukan politik identitas harus memiliki batasan dengan tidak mengarah kepada nilai-nilai radikalisme, baik dalam ranah suku ataupun agama tertentu

Wacana pembentukan koalisi poros partai Islam dapat dikaji menggunakan pandangan orientalisme dari Edward Said. Pembentukan koalisi ini secara ideologis berupaya untuk memperkuat posisi partai Islam yang ada di Indonesia. Sejak Pemilu 1955 hingga saat ini, partai Islam di Indonesia belum pernah memenangkan pemilihan umum. Hasil Pemilu selalu dimenangkan oleh tokoh-tokoh yang berasal dari partai Nasionalis. Hal ini mengindikasikan adanya kepercayaan oleh negara maupun masyarakat terhadap tokoh-tokoh yang berasal dari partai Nasionalis (pemikiran Barat) ketimbang dari partai Islam (pemikiran Timur). Istilah 'kemajuan' dalam dinamika politik yang terjadi di Barat lebih sering didengar oleh masyarakat daripada dinamika politik di Timur, yang identik dengan peperangan dan perpecahan.

                [1] "...gaya Barat untuk mendominasi, restrukturisasi, dan memiliki otoritas atas Timur," dalam Edward W. Said, Orientalism, New York: Vintage Books A Division of Random House, 1979, pp. 3.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun