Mohon tunggu...
Muhammad Nofhal Triandi
Muhammad Nofhal Triandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bukan seseorang yang sempurna.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hubungan antara Kebudayaan Arab dan Keislaman

4 Juni 2022   19:31 Diperbarui: 4 Juni 2022   19:33 1524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

HUBUNGAN ANTARA KEBUDAYAAN ARAB DAN KEISLAMAN, MERUPAKAN DUA HAL YANG TIDAK BISA DIPISAHKAN. TETAPI, APAKAH SAMA ANTARA KEDUANYA?

Apa ciri khas dan keistimewaan bahwa kebudayaan arab dan keislaman tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Antara satu dengan yang lainnya selalu berdampingan bersamaan. Bahkan dalam sejarah, ketika disebut nama Arab maka akan terbesit di dalam pikiran kita adalah Islam. Kedua hal ini mempunyai pengaruh yang saling menguatkan. Oleh karena itu,  kebudayaan Arab dan keislaman mempunyai keistimewaan tersendiri. Seperti mempunyai visi universal dan integrasi, sisi humanisme yang tinggi, kemampuan untuk berinteraksi dengan problematika sosial dan menyuguhkan solusi yang tepat.

Kebudayan Arab dan Islam sudah ada sejak dahulu kala, dan mampu membangun pondasi kebudayaan dan adat istiadat yang mempunyai ciri khas. Akan tetapi, sebelum 1400 tahun lebih telah mewabah penyakit sosial yang akut dan destruktif yang memporakporandakan bangunan kehidupan. Maka datanglah Risalah agung dari langit untuk menunjukkan jalan yang benar menuju kebahagian yang hakiki. 

Kebudayaan Arab dan Islam tidak bisa dipisahkan, karena mempunyai hubungan yang sangat erat dalam berbagai sisi. Kebudayaan Arab ini mengambil dan mengadopsi dasar-dasarnya dari Al-Quran, yang dalam hal ini BAHASA ARAB sebagai unsur paling dominan dalam kebudayaan ini.

Allah Swt menurunkan wahyu di bumi Arab kepada seorang laki-laki mulia yang juga berbangsa Arab. Maka tak heran bila sumber ajaran Islam menggunakan bahasa Arab. Tidak hanya itu, pertumbuhan dan perkembangan Islam juga tidak terlepas dari budaya yang berlaku di sana. 

Saat Islam datang ke nusantara, para wali songo menggunakan strategi dakwah yang tepat dan bisa diterima masyarakat, termasuk pendekatan budaya seperti wayang, tarian, lagu dll. Alhasil dakwah itu bisa diterima sehingga Islam dapat menyebar ke seluruh pelosok nusantara, bahkan Indonesia saat ini menjadi negara pertama dengan populasi muslim terbesar di dunia. Bukankah itu prestasi yang luar biasa?

Jika para wali songo saja demikian, lalu bagaimana dengan metode dakwah Nabi Saw yang membawa agama baru di tengah-tengah kaum kafir Quraisy? Apakah ketika itu Nabi Saw melepaskan diri dari seluruh budaya Arab?

Menurut Almagfurlah KH. Ali Musafa Ya’qub, kriteria agama dan budaya agar dapat dibedakan adalah:

Misalnya surban, sebelum Islam datang, masyarakat Arab sudah menggunakan surban. Orang Islam menggunakan surban bukan karena adanya perintah dari agama, karena saat itu orang-orang kafir juga menggunakan surban. Perbedaanya, orang-orang Islam dianjurkan menggunakan qolansuwah (peci) terlebih dahulu sebelum melilitnya dengan surban. Hal ini dimaksudkan agar surbannya tidak jatuh ketika mereka shalat.

Pendapat bahwa surban merupakan budaya Arab juga diperkuat dengan fatwa Saudi Arabia tentang surban (Lihat Ali Mustafa Ya’qub, Cara Benar Memahami Hadis, Pustaka Firdaus, hal 94) dan juga fatwa Fadhilah al-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (hal 96). Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa surban adalah budaya Arab, bukan perintah agama sehingga menjadi sunnah. Meskipun demikian, menggunakan surban tetap diperbolehkan.

Namun ternyata menggunakan surban bisa menjadi haram hukumnya, yakni bagi orang yang hanya menggunakannya sendirian dan berbeda dari masyarakat di sekitarnya, karena hal itu bisa menjadi pakaian syuhroh (popularitas). Apalagi jika sang pemakai bertujuan agar mudah dikenal (popular) dan tumbuh dalam hatinya rasa sombong.

Beberapa budaya terkadang sudah ada sebelum Islam datang. Misalnya al-jummah (rambut yang panjangnya sampai dua pundak), al-wafrah (rambut yang panjangnya sampai pada dua daun telinga, dan al-limmah (rambut yang panjangnya hampir menyentuh pundak). Gaya rambut seperti demikian saat itu diterapkan oleh bangsa Arab, dan terus berlanjut bahkan hingga Islam datang.

Beberapa budaya ada yang sudah muncul sebelum Islam datang, kemudian turun wahyu dan Allah Swt memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya. Maka setelah turun wahyu, budaya tersebut menjadi syariat Islam.

Misalnya manasik haji dan perhitungan bulan qomariyah (tahun hijriyah). Keduanya sudah menjadi tradisi semenjak masa jahiliyah dari syariat Nabi Ibrahim As. Kemudian disyariatkan oleh Islam dan diamalkan hingga kini.

Definisi Keislaman sangat beragam. Hal itu disebabkan oleh betapa serius dan modernnya istilah ini. Kebudayaan Islam dengan karakternya yang universal dan keluasan cakupannya, bermuara dari Al-Quran sebagai kalamullah Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, dan As-Sunnah yang suci (yang mengandung semua perkataan, perbuatan dan ketetapan).

Keislaman mampu mencetak kepribadian yang elastis, yang mampu menyesuaikan dinamika kehidupan. Begitu juga mampu menciptakan keseimbangan, tawaazun. Sesuai karakter syariat Islam sebagai  syariat yang moderat, dalam dimensi ruhiyah dan jasadiyah.

Agama ini adalah agama yang menyeimbangkan semua dimensi kehidupan manusia. Ia tidak mentolerir sikap ektrimisme atau sebaliknya persmisifme. Warisan kebudayaan Islam adalah warisan yang sangat produktif. Cakrawalanya sangat luas, membuahkan nilai-nilai budaya lainnya tanpa ada kemujudan atau fanatisme. Kebudayaan yang mempunyai nilai akar orisinalitas yang kokoh, yang memandang kehidupan dari segala sisi dunia dan akhirat.

Bahasa Arab adalah sebagai pondasi dasar pembangun kebudayaan Islam ini. Ia mempunyai nilai histori yang sangat lama. Ia menembus batas peradaban dan mampu mencukupi semua kebutuhan jaman. Agama Islam sebagai sumber nilai utama pembangun peradaban, bukan alam, sosial atau tokoh personal sebagaimana yang berlaku pada kebudayaan lainnya, seperti diyakini sebagian para pemikir barat.

Dengan demikian, bahwa antara kebudayaan Arab dan aspek kehidupan bangsa itu yang dinamai kebudayaan Islam, tidak terdapat kesejajaran penuh, sehingga dapat dicapai kesatuan konotasi. Pengertian nama aspek yang benar-benar unsur Arab murni dan mana yang benar-benar unsur Islam non Arab menjadi kabur. Sejarah kebudayaan Arab, yang sebentar berwajah ekspresi khusus Arab dan sebentar justru menjadi manifestasi dari kebudayaan Islam, tidak memungkinkan dilakukannya pemisahan tegas antara keduanya.

Tetapi demikian pula sebaliknya, jalan sejarah kebudayaan Arab menunjukkan dengan nyata adanya identitas berganda dalam dirinya, menjadi keharusan bagi mereka yang ingin mengenal hakikat kebudayaan Arab untuk tidak hanya mementingkan aspek-aspek keislamannya belaka, seperti yang telah lama menjadi cara memandang di negeri ini, bilamana ingin dibuat gambaran tentang apa yang dinamakan kebudayaan Arab. Diktum Arab adalah Islam, yang sering kali berakibat Islam adalah Arab, menjadi semacam rangka pemikiran yang telah membuat kita bersikap tidak realitas selama ini. Sudah waktunya cara memandang semacam ini diubah, dengan cara menyadari sepenuhnya akan besarnya diversifikasi unsur-unsur kebudayaan Arab, sebagaimana yang juga dimiliki oleh kebudayaan bangsa kita sendiri. Semua unsur dan aspek dari kebudayaan tersebut membutuhkan perhatian dan perlakuan yang sama dari kita, jika kita ingin memperoleh gambaran realitas yang berdimensi lengkap tentang apa itu yang dinamakan kebudayaan Arab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun