Disini saya sebagai penulis membuat beberapa ringkasan dan juga sebagian pendapat pribadi atas ceramah KH Marzuqi Mustamar, yang dulunya menjabat menjadi Ketua PWNU Jawa Timur, di Masjid Baiturrahim, Desa Poncokusumo Kabupaten Malang. Pada saat itu bertepatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj dan harlah NU pada tanggal 2 Februari 2025. Ada banyak pencerahan yang kami dapatkan dan berusaha kami rangkum dengan baik.
Di sudut-sudut desa, di masjid kecil, atau di langgar sederhana, ada sosok yang tak pernah letih membimbing umat. Mereka adalah para kyai kampung, yang dengan kesabaran dan kebijaksanaan, menjaga Islam tetap hidup di tengah masyarakat. Mungkin nama mereka tidak setenar ulama besar di sosial media atau televisi, atau hingga ulama luar negeri, tetapi merekalah yang pertama kali mengenalkan kita pada Islam—mengajari kita mengaji, mengenalkan shalat, dan menanamkan nilai-nilai keagamaan sejak kecil.
KH. Marzuki Mustamar, seorang ulama yang dekat dengan masyarakat dan teguh menjaga tradisi NU (Nahdlatul Ulama), mengingatkan kita akan peran besar kyai kampung. Dalam ceramahnya, beliau menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya tetap berpegang pada NU, mengikuti ajaran kyai, serta menghormati mereka yang telah membimbing kita sejak awal.
Jangan Pergi Terlalu Jauh, Tetaplah di NU
Dalam perjalanan hidup, sering kali kita tergoda untuk mencari sesuatu yang lebih "murni", lebih "autentik", atau lebih "berbeda". Sebagian orang menganggap ilmu yang jauh lebih berharga dibandingkan dengan yang ada di sekitar. Namun, KH. Marzuki mengingatkan, kita terlalu jauh untuk memahami agama sendiri tanpa bimbingan yang tepat.
Islam memiliki rantai keilmuan yang tersambung dari generasi ke generasi. Para ulama, terutama di NU, telah menjalani perjalanan panjang dalam menuntut ilmu sebelum akhirnya membimbing umat. Bayangkan saja, setelah matang belajar membaca Quran (Hingga tajwid, gharaib, hingga qiraah sab’ah), mereka mempelajari banyak fan keilmuan, seperti Nahwu, Shorof, Fikih, Mantiq, Balaghah, Akidah, dll. Kita bedah saja satu dulu, untuk mempelajari Nahwu, perlu mempelajari dasarnya dulu yang biasanya di pesantren Indonesia menggunakan kitab Al-jurumiyah, Kemudian Mutamimah Jurumiyah/Muhtasor jiddan/dsb, kemudian lanjut ke Imrithi, Syarah Imrithi, Alfiyah, Syarah Ibnu aqil, Jamiud durus, dll. itu hanya sekelumit kecil saja dibanding kitab nahwu lainnya seperti kitab at-Tadzyil wa at-Takmil karya Abu hayan al Andalusi yang terdiri dari 13 Jilid. Terlalu berat untuk kemudian kita belajar sendiri dan mencari hukum sendiri. Para ulama tidak hanya belajar dari kitab-kitab, tetapi juga mengalami langsung bagaimana agama dipraktikkan di tengah masyarakat. Maka, tak perlu menjadi kyai untuk memahami agama dengan baik, cukup dengan "manut" kepada kyai—mengikuti petunjuk mereka dengan hati yang terbuka itu sudah cukup untuk kita.
Tawassul: Jangan Lupakan yang Dekat
Sering kali, kita begitu mengagumi ulama dari negeri seberang, dari Yaman, dari Timur Tengah, bahkan sampai menziarahi makam-makam mereka, mengagungkan habaib kondang, ustadz viral, dll. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun, bagaimana dengan kyai kampung kita? Mereka yang pertama kali mengajarkan kita membaca Al-Qur’an, yang setiap hari mengimami shalat di masjid desa, yang membimbing masyarakat dengan kesabaran? para habaib dan ustadz kondang tersebut tak akan sempat mengimami sholat 5 waktu di mushola-mushola, tak akan sempat menyolati jenazah.
KH. Marzuki menyoroti fenomena ini dengan halus, mengajak kita untuk tidak hanya bertawassul kepada ulama besar di kejauhan, tetapi juga menghormati dan mendoakan kyai yang telah berjasa dalam kehidupan kita. Islam di Nusantara berkembang karena perjuangan mereka, dan sudah sepantasnya kita menaruh hormat pada mereka yang ada di sekitar kita.
Jadi, kita biasakan untuk mendoakan guru-guru kita, ustadz atau guru pejuang di daerah, kemudian boleh untuk bertawasul atau menyambung doa ke ulama terkenal, seperti habaib yaman, dll.
Ketika kita mengikuti ulama lain misalkan, yang hanya mendoakan leluhurnya di haul mereka, kita didongengi kisah-kisah menakjubkan kakek mereka, tidak mempedulikan bahkan leluhur kita, dan anehnya banyak tidak sadar akan hal tersebut. Para ustad yang mengajarkan kita alif ba’ ta dari awal kita lupakan begitu saja. menjadi satu hal yang perlu kita koreksi.
Mazhab Syafi’i: Keutuhan dalam Beragama