Para ulama dalam pembagian harta ini telah mengelompokkan kepada beberapa bagian yang ditinjau dari beberapa segi dan ciri-ciri khusus beserta akibat hukumnya.Â
1. Pertama, jika kita tinjau dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara', harta itu dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Mutaqawwim (bernilai)
Mustafa Syalabi mendefinisikan harta mutaqawwim adalah sesuatu yang dapat dikuasai dan dibolehkan syara' mengambil manfaatnya.
b. Ghairu Mutaqawwim (tidak bernilai)
Ghairu Mutaqawwim yaitu sesuatu yang tidak dibolehkan syara' mengambil manfaatnya, seperti babi, anjing dan khamar
Akibat hukum pada pembagian harta kepada mutaqawwim dan ghairu mutaqawwim antara lain:
Pertama, harta mutaqawwim dapat dijadikan obyek transaksi, seperti jual beli, yaitu sewa menyewa dan sebagainya. Sedangkan ghairu mutaqawwim tidak dibolehkan syara'.
Kedua, Harta mutaqawwim mendapat perlindungan dan jaminan, apabila dirusak oleh seseorang maka ia dituntut ganti rugi, yaitu tuntutan mengganti dari pada benda serupa atau nilainya. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat jika harta ghairu mutaqawwim itu milik kafir dzimmi (kafir yang hidup dan tunduk di bawah perundang-undangan negara Islam) dirusak atau dibinasakan oleh orang muslim, maka muslim ini wajib membayar ganti rugi, karena harta tersebut termasuk harta mutaqawwim bagi kafir dzimmi, namun jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa terhadap kasus di atas seorang muslim tidak dituntut ganti rugi, karena harta ghairu mutaqawwim itu tidak dinilai harta dalam Islam.
2. Lalu yang kedua, jika ditinjau dari segi dapat atau tidaknya dipindahkan, harta dibagi kepada:
a) Harta Manqul (bergerak)