Di banyak perusahaan, terutama yang bergerak di sektor industri dan jasa, keluhan dari dua kubu strategis organisasi sering terjadi. Dua kubu itu adalah Human Resources Department (HRD) dan para user seperti manajer, supervisor, serta kepala divisi. Konflik diam-diam ini, meski tampak sepele, berdampak serius terhadap pencapaian kinerja organisasi secara keseluruhan.
Para user merasa HRD tidak cukup memahami kebutuhan nyata di lapangan. Rekrutmen dianggap lambat, tidak tepat sasaran, atau bahkan menghadirkan talenta yang tidak siap pakai. Di sisi lain, HRD mengeluh soal permintaan user yang dianggap tidak realistis, tergesa-gesa, bahkan tidak disertai data yang cukup.
Pada dasarnya, HRD dan user adalah dua entitas yang seharusnya bersatu dalam irama yang sama. Mereka saling membutuhkan. HRD bertugas menyediakan talenta terbaik, sementara user mengelola dan mengembangkan talenta tersebut agar memberi nilai bagi organisasi. Ironisnya, komunikasi keduanya kerap terhambat ego sektoral.
Salah satu penyebab utama adalah belum adanya budaya kolaborasi dalam merumuskan kebutuhan SDM. Rekrutmen seringkali dilakukan hanya berdasarkan formasi kosong, bukan atas dasar analisis kebutuhan personil maupun beban kerja yang terukur. Hal ini menghasilkan ketidaksesuaian antara orang yang direkrut dan tuntutan kerja di unit tersebut.
Di sisi lain, user seringkali gagal memahami kompleksitas proses rekrutmen yang dijalankan HRD. Mulai dari screening ribuan CV, verifikasi administratif, psikotes, hingga interview berlapis. Ketika HRD tidak dilibatkan sejak awal dalam penyusunan job profile yang akurat, proses seleksi menjadi lemah dan hasilnya tidak memuaskan.
HRD dan user bukan dua kubu yang bersaing, tapi dua sayap yang harus mengepak bersama. Tanpa kolaborasi dan komunikasi yang jujur, organisasi hanya akan terbang rendah dalam ketidakseimbangan dan kehilangan arah pencapaian.
Konflik ini juga mencerminkan rendahnya penerapan pendekatan manajemen strategis SDM. Analisis kebutuhan pengembangan pegawai jarang dilakukan secara sistematis. Karyawan yang sudah direkrut tidak ditindaklanjuti dengan pelatihan atau coaching yang mendalam karena HRD dan user tidak menyusun rencana pengembangan bersama.
Perusahaan yang sukses membangun ekosistem kerja sinergis, biasanya memiliki forum tetap antara HRD dan user. Di forum ini, dilakukan pertemuan berkala untuk mengevaluasi formasi kerja, kebutuhan pelatihan, serta pemetaan suksesi. Data menjadi landasan diskusi, bukan hanya opini atau persepsi masing-masing pihak.
Sebagai contoh, dalam beberapa perusahaan multinasional, divisi HR menjadi partner strategis bisnis. Mereka duduk sejajar dengan kepala unit produksi, marketing, atau keuangan, bukan hanya sebagai administrator SDM. Proses perencanaan kerja dan pencapaian target tahunan dilakukan secara terintegrasi.
Sayangnya, dalam konteks Indonesia, belum semua perusahaan mengadopsi pendekatan ini. Banyak HRD yang masih terjebak dalam pola administratif, sementara para user enggan berbagi informasi penting seperti perubahan strategi unit, restrukturisasi kerja, atau kebutuhan soft skill tertentu.
Hal ini bisa diperbaiki dengan membangun shared accountability antara HRD dan user. Keduanya harus memiliki tanggung jawab bersama atas keberhasilan atau kegagalan seorang karyawan. Dengan begitu, tidak ada lagi saling menyalahkan ketika seorang pegawai tidak perform.