Di balik indahnya ornamen ukiran kayu Jepara yang mendunia, ada sepasang tangan kasar yang tak banyak dikenal. Mereka adalah pemahat, para penjaga warisan seni yang telah berumur ratusan tahun. Namun kini, profesi ini menghadapi senjakala. Animo generasi muda terhadap dunia pahat ukir Jepara terus merosot seiring dengan ketiadaan jaminan penghasilan yang layak dan ketidakpastian kesejahteraan hidup.
Bagi para pemahat, pekerjaan ini bukan sekadar mata pencaharian, melainkan ekspresi artistik. Namun, penghargaan atas karya mereka seringkali tidak sebanding dengan ketekunan dan keterampilan yang dibutuhkan. Dalam banyak kasus, pemahat hanya menerima bayaran berdasarkan sistem borongan yang ditentukan sepihak oleh pemilik UMKM mebel, tanpa standar yang jelas dan adil.
Ketimpangan posisi tawar antara pemilik UMKM dan pemahat menciptakan jurang ketidakadilan yang kian menganga. Para pemahat berada di posisi lemah. Mereka bekerja berdasarkan pesanan, upahnya pun bergantung pada jumlah ukiran atau kesepakatan yang sering kali tak berpihak. Tak jarang mereka hanya menerima puluhan ribu rupiah per hari, bahkan di bawah standar upah minimum regional.
Sistem borongan memang fleksibel bagi pemilik usaha, namun seringkali menjadi jebakan bagi pekerja. Tidak ada kepastian pendapatan bulanan, tidak ada jaminan sosial, dan tidak ada perlindungan jika terjadi fluktuasi permintaan pasar. Inilah yang menjadikan profesi pemahat kehilangan daya tariknya, khususnya bagi generasi muda Jepara.
Kondisi ini sangat kontras dengan kebutuhan regenerasi pelaku seni ukir. Generasi Z dan milenial di Jepara justru lebih tertarik menjadi buruh pabrik di kawasan industri seperti Nalumsari, Mayong, dan Kalinyamatan. Di sana, mereka dijanjikan gaji bulanan yang stabil, tunjangan, dan jam kerja yang lebih pasti.
Ukiran Jepara bukan sekadar seni pada kayu, tapi jejak jiwa pemahat yang bekerja tanpa pamrih. Jika seni ini ingin lestari, maka tangan-tangan pengukirnya harus diberi penghargaan setinggi-tingginya, bukan sekadar upah yang tak cukup untuk menyambung harapan.Â
Fenomena eksodus ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga tentang kehilangan nilai budaya. Jika tidak segera diatasi, kita akan menyaksikan ironi besar: ukiran Jepara yang diakui dunia justru kehilangan para pewarisnya sendiri. Tradisi pahat bisa punah bukan karena kualitas seni menurun, tetapi karena tak ada lagi yang bersedia menekuninya.
Solusi jangka pendek sering kali terjebak dalam logika efisiensi semata. Pemilik UMKM mebel umumnya berdalih bahwa beban biaya produksi harus ditekan, termasuk dengan mempertahankan sistem borongan tanpa standar. Namun ini adalah jalan buntu jika dilihat dari sudut keberlanjutan ekonomi kerajinan ukir itu sendiri.
Perlu pendekatan jalan tengah, antara efisiensi usaha dan keadilan pekerja. Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah penetapan standar minimum upah bagi pemahat, yang mempertimbangkan kompleksitas ukiran, waktu pengerjaan, serta nilai seni yang dihasilkan. Ini bisa diformulasikan oleh asosiasi pengusaha mebel, koperasi lokal, dan pemerintah daerah.
Standar ini bukan untuk memaksa, melainkan untuk membangun kepastian dan daya saing. Ketika pemahat merasa dihargai dan memiliki kepastian pendapatan, maka regenerasi akan lebih mudah. Generasi muda pun tidak lagi alergi terhadap profesi ini karena mereka melihat adanya masa depan yang layak.
Sisi lain dari solusi adalah pelatihan kewirausahaan dan manajemen usaha bagi para pemahat. Dengan begitu, para seniman ukir ini tidak selalu berada dalam posisi sebagai "pekerja lepas", tetapi bisa menjadi mitra usaha yang mampu menentukan harga sendiri dan berdaya tawar lebih tinggi.