Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Geger Bocah 9 Tahun Sodomi 9 Anak: Kampanyekan Perang Melawan Pornografi!

11 Juni 2025   13:09 Diperbarui: 11 Juni 2025   13:09 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi trauma kekerasan seksual pada anak (Sumber: tribunnews.com)

Kasus di Bekasi yang melibatkan bocah sembilan tahun sebagai pelaku sodomi terhadap sembilan anak lainnya mengejutkan banyak pihak. Di satu sisi, kita terpukul oleh fakta bahwa pelaku dan korban sama-sama anak-anak. Di sisi lain, kita juga dihadapkan pada realitas pahit: ada sesuatu yang sangat keliru dalam sistem sosial kita yang memungkinkan hal ini terjadi. Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi soal kegagalan kolektif kita sebagai masyarakat dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual, pornografi, dan bullying.

Dalam kacamata hukum, anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam UU ini ditegaskan bahwa anak yang belum berusia 12 tahun tidak dapat diproses secara pidana. Namun, ini bukan berarti tidak ada tindakan hukum yang dapat diambil. Justru di sinilah hukum progresif bekerja. Perlindungan anak harus dikedepankan, bukan sekadar pemidanaan.

Anak usia 9 tahun yang melakukan tindakan asusila bukanlah "penjahat kecil", melainkan cermin dari kerusakan nilai, lingkungan, dan kemungkinan besar menjadi korban dari paparan konten pornografi. Alih-alih menghukumnya, pendekatan yang harus ditempuh adalah rehabilitasi psikososial secara menyeluruh melalui Balai Pemasyarakatan (Bapas), Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS), atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), jika nanti anak tersebut sudah menginjak usia pembinaan.

Hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah. Dalam konteks ini, sistem peradilan pidana anak didesain bukan untuk menghukum, tetapi untuk menyelamatkan masa depan. Dan itu berarti, negara harus turun tangan lebih serius, bukan sekadar memberi label "anak di bawah umur tidak bisa dipidana". Pembinaan anak tak bisa diserahkan semata-mata kepada orang tua yang mungkin tidak memiliki kapasitas atau literasi pengasuhan yang memadai.

Anak yang melakukan kekerasan bukan hanya pelaku, tapi juga korban dari kelalaian kita sebagai masyarakat. Saatnya hukum hadir bukan untuk menghukum, tapi menyembuhkan, membimbing, dan memastikan setiap anak tumbuh di dunia yang aman dari pornografi dan kekerasan.

Kasus ini juga menegaskan bahwa urgensi pemberantasan pornografi bukan sekadar agenda moral, tetapi juga krusial sebagai perlindungan sosial. Paparan konten pornografi digital yang begitu mudah diakses anak-anak hari ini adalah bentuk kekerasan struktural yang kita biarkan terjadi. Ketika anak usia 9 tahun bisa meniru pola seksual dari konten dewasa, itu artinya kita sedang duduk di atas bom waktu.

Pendekatan hukum progresif dalam kasus ini menuntut kita untuk tidak menyederhanakan masalah ini menjadi "penyimpangan individu". Sebaliknya, kita harus memeriksa dengan jujur seluruh ekosistem sosial, mulai dari rumah, sekolah, komunitas, hingga kebijakan negara dalam mengontrol arus konten berbahaya di dunia digital. Apakah semua itu telah bekerja secara efektif?

Polisi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan lembaga pengawas internet harus bersinergi. Namun lebih dari itu, sistem pendidikan dan keluarga harus diperkuat. Kegagalan literasi seksual dan digital di kalangan orang tua adalah salah satu penyebab utama anak-anak terpapar konten berbahaya. Mereka tidak mengenali tanda-tanda anak kecanduan gawai, tidak menyadari perubahan perilaku seksual yang menyimpang, dan seringkali canggung atau tabu membicarakan seksualitas secara sehat dengan anak.

Tidak bisa dimungkiri, kasus ini juga menunjukkan bahwa bullying dan kekerasan antaranak telah mencapai level yang mengerikan. Tindakan sodomi yang dilakukan oleh anak pelaku tidak berdiri sendiri, bisa jadi merupakan bagian dari pola bullying seksual yang ia alami sebelumnya. Maka, perlindungan korban tidak boleh kalah penting. Trauma anak-anak korban harus ditangani segera dan serius, termasuk dengan pendampingan jangka panjang oleh psikolog anak.

Paradigma restorative justice dalam hukum pidana anak harus dijalankan secara konkret. Ini bukan saatnya menghukum, tetapi menyembuhkan. Baik pelaku maupun korban harus mendapatkan perlindungan dan pemulihan, bukan stigmatisasi. Justru negara hadir untuk memutus siklus kekerasan, bukan melanggengkannya dalam bentuk penghukuman semu.

Kasus di Bekasi ini harus menjadi pemicu reformasi besar dalam sistem pengasuhan anak di Indonesia. Negara harus memperkuat peran Bapas dan LPKS di tingkat lokal. Dana desa bisa dialokasikan untuk membangun sistem perlindungan anak berbasis komunitas. Tenaga pendamping anak perlu diperbanyak dan dilatih dengan pendekatan yang berorientasi pada pemulihan trauma, bukan sekadar laporan formalistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun