Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Kurban 18 Kerbau dan 33 Kambing, Kekuatan Sosial di Balik Tradisi Kurban Kudus

8 Juni 2025   22:38 Diperbarui: 8 Juni 2025   22:38 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemotongan hewan kurban Kerbau di pelataran Masjid Menara Sunan Kudus (Sumber: Dok. Menara Kudus Official)

Setiap tahun, tradisi kurban di Kudus menjadi momen religius yang penuh makna, bukan hanya secara spiritual, tapi juga sebagai wujud harmoni sosial lintas agama. Pada tahun 2025 ini, Masjid Al-Aqsha Menara Kudus kembali melaksanakan penyembelihan hewan kurban sebanyak 18 ekor kerbau dan 33 ekor kambing, Ahad, 8 Juni 2025. Angka-angka ini bukan sekadar statistik biasa, melainkan cerminan nilai-nilai religiusitas dan solidaritas masyarakat Kudus yang berakar kuat dari warisan Sunan Kudus.

Uniknya, tradisi kurban di Kudus ini tetap mempertahankan larangan menyembelih sapi sebagai hewan kurban. Larangan ini bukan sekadar aturan ritual, melainkan strategi dakwah yang sarat makna historis dan sosial. Berakar dari ajaran Sunan Kudus pada abad ke-15, larangan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap kepercayaan masyarakat Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Hal ini menunjukkan bagaimana dakwah Islam pada masa itu mengedepankan akomodasi sosial dan toleransi antar umat beragama.

Dalam perspektif sosiologi agama, larangan penyembelihan sapi ini merupakan manifestasi religiusitas kontekstual, di mana agama berperan sebagai sarana membangun harmoni sosial. Sunan Kudus memilih jalur akomodasi, bukan konfrontasi, agar nilai-nilai Islam dapat diterima tanpa menghilangkan sensitivitas budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, praktik kurban di Kudus menjadi simbol toleransi yang hidup, sekaligus media memperkuat persaudaraan antar umat beragama.

Penyembelihan 18 kerbau dan 33 kambing di Masjid Al-Aqsha tahun 2025 ini juga menegaskan betapa kuatnya nilai kegotongroyongan dalam masyarakat Kudus. Sebanyak 481 partisipan bergotong royong dalam proses pelaksanaan kurban, dari pengumpulan hewan, pemotongan, hingga pendistribusian daging kurban. Ini bukan hanya soal ritual keagamaan, tapi juga refleksi solidaritas sosial yang telah menjadi ciri khas masyarakat Jawa pada umumnya dan Kudus pada khususnya.

Jumlah daging kurban yang dibagikan mencapai 12.710 bungkus, disalurkan ke 9 kecamatan di seluruh wilayah Kudus. Distribusi yang merata ini memperlihatkan komitmen kuat untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama yang kurang mampu. Dalam hal ini, kurban menjadi momentum memperkuat ikatan sosial sekaligus mengaktualisasikan nilai keadilan dan kepedulian sosial dalam ajaran Islam.

Kurban di Kudus bukan sekadar ritual, melainkan wujud cinta dan penghormatan lintas agama, memperkuat persaudaraan dan harmoni dalam keberagaman.

Nilai religiusitas yang kuat mendorong masyarakat Kudus tidak hanya menjalankan ritual kurban secara formal, tetapi juga menanamkan makna spiritual dalam setiap tindakan. Kerelaan berbagi dan kepedulian terhadap sesama menjadi ekspresi iman yang nyata. Religiusitas yang demikian bukan hanya pengabdian kepada Tuhan, tetapi juga manifestasi cinta kasih kepada sesama manusia.

Strategi dakwah Sunan Kudus yang mengedepankan akomodasi terhadap kepercayaan Hindu dengan melarang penyembelihan sapi, menjadi pelajaran penting tentang bagaimana agama bisa menjadi perekat sosial. Model ini mengajarkan kita untuk melihat agama sebagai ruang dialog, bukan hanya sebagai sumber konflik. Dalam konteks masyarakat plural seperti Kudus, ini adalah strategi yang bijak dan relevan hingga kini.

Fenomena ini mengingatkan kita pada teori religiusitas yang menempatkan agama sebagai pengalaman subjektif sekaligus praktek sosial yang berfungsi menjaga kohesi komunitas. Kurban di Kudus dengan keunikannya, memperlihatkan bagaimana ritual keagamaan mampu menjadi medium penguatan solidaritas dan perdamaian sosial.

Nilai kegotongroyongan yang terjalin dalam pelaksanaan kurban ini juga berakar dalam budaya Jawa yang mengutamakan kerja sama dan saling bantu. Dalam konteks modern, tradisi ini bertransformasi menjadi model penguatan modal sosial yang penting bagi pembangunan masyarakat yang inklusif dan harmonis.

Lebih dari sekadar ritual, kurban di Masjid Al-Aqsha tahun ini menjadi contoh nyata bagaimana tradisi keagamaan dapat menginspirasi masyarakat untuk hidup bersama dalam keberagaman. Ini membuktikan bahwa perbedaan keyakinan tidak harus menjadi pemicu perpecahan, melainkan bisa menjadi kekayaan yang memperkuat ikatan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun