Dalam hiruk pikuk antrean panjang jemaah haji Indonesia yang kini mencapai puluhan tahun, kesabaran seolah menjadi kata terakhir yang paling esensial bagi siapa pun yang memimpikan perjalanan suci ke Tanah Haram. Bukan hanya sebagai sikap pasif menunggu giliran, melainkan sebagai energi mental yang menopang keikhlasan, keteguhan, dan harapan dalam jangka waktu yang sulit diprediksi. Dalam konteks ibadah haji 2025, realitas ini semakin mengemuka dan menjadi ujian psikologis tersendiri bagi jutaan calon jemaah.
Berdasarkan data resmi, tercatat lebih dari 25 juta umat Muslim Indonesia telah terdaftar sebagai pendaftar haji reguler. Di berbagai daerah, masa tunggu keberangkatan bahkan sudah mencapai 30 hingga 40 tahun. Situasi ini melahirkan satu pertanyaan eksistensial, apakah kita cukup sabar untuk menunggu, dan cukup siap jika ternyata tidak sempat berangkat karena ajal lebih dulu menjemput?
Di sinilah kesabaran menemukan makna tertingginya. Sebab, berbeda dengan ibadah lain yang bisa dijalankan kapan saja, haji adalah ibadah yang sangat bergantung pada sistem, waktu, dan kuota. Maka, berangkat haji bukan hanya soal memiliki dana, tetapi juga menyangkut kesiapan mental untuk menunggu, menerima, dan pasrah. Tidak sedikit yang kemudian merasa frustrasi karena melihat orang lain bisa berangkat lewat jalur haji furoda dengan membayar lebih dari 400 juta rupiah, sementara dirinya harus menanti puluhan tahun.
Kesabaran dalam antrean haji adalah ibadah yang tersembunyi, tempat jiwa ditempa dan keikhlasan diuji. Bukan seberapa cepat kau berangkat, tapi seberapa lapang kau menunggu dan yakin bahwa Allah tak pernah salah waktu dalam memanggil hamba-Nya ke rumah-Nya.
Dari sudut pandang psikologi klinis, kondisi ini sangat potensial menimbulkan tekanan batin. Perasaan tidak adil, putus asa, dan bahkan marah terhadap sistem atau takdir dapat muncul, terutama ketika melihat ketimpangan dalam akses berhaji. Namun justru di titik inilah, ibadah haji mengajarkan dimensi spiritual yang lebih dalam, bahwa menunggu dalam kesabaran adalah bagian dari ibadah itu sendiri.
Kesabaran dalam antrean haji bukanlah bentuk kelemahan, melainkan bentuk keteguhan iman. Ini adalah praktik spiritual harian yang sering kali tidak disadari. Dalam setiap tahun menunggu, tersimpan harapan yang tak kunjung padam. Dalam setiap doa setelah salat, terselip permohonan agar Allah mengizinkan satu langkah kaki menginjak tanah Arafah. Menunggu menjadi proses pemurnian jiwa.
Bagi mereka yang tidak mampu membeli "tiket ekspres" menuju Baitullah, harapan hanya bertumpu pada keajaiban waktu dan kehendak Tuhan. Maka, penting untuk memahami bahwa kesiapan berhaji tidak cukup hanya dengan kesiapan finansial, tetapi juga kesiapan emosional dan spiritual. Kesiapan untuk menerima jika belum dipanggil, dan kesiapan untuk berangkat jika tiba waktunya.
Dalam proses menunggu inilah, ibadah haji memanggil bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwa yang lapang. Sebab banyak yang mampu secara materi, tetapi tidak siap secara mental. Sebaliknya, banyak yang tidak cukup dari segi ekonomi, namun sangat siap secara spiritual. Maka, Allah-lah yang Maha Menentukan siapa yang dipanggil lebih dulu.
Sikap sabar ini mengajarkan kita untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain, melainkan melihat ke dalam, apakah kita benar-benar sudah menata hati, memperbaiki akhlak, membersihkan niat, dan mematangkan jiwa? Sebab haji bukan hanya perjalanan fisik, tetapi lebih dalam: perjalanan spiritual menuju ketaatan total kepada Ilahi.
Jika kita mampu bersabar dalam antrean puluhan tahun, berarti kita juga sedang mematangkan keikhlasan dan keimanan. Kita sedang menjalani kurikulum spiritual yang sangat panjang, yang akan memperkuat karakter, memperdalam tawakal, dan mengasah keteguhan dalam menerima takdir. Ini adalah bentuk ibadah non-fisik yang tidak kalah mulia dibanding thawaf dan sa'i.
Tidak ada doa yang sia-sia. Tidak ada niat yang diabaikan oleh Allah. Maka, bagi siapa pun yang telah berniat haji dan bersungguh-sungguh mendaftar, Allah telah mencatatnya sebagai orang yang memenuhi panggilan. Jika belum sempat berangkat hingga akhir hayat, maka niat itu telah mencukupi sebagai bukti cinta dan kerinduan kepada Baitullah.