Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, namun belum sepenuhnya menjadikan laut sebagai pusat peradaban dan penggerak utama pembangunan nasional. Di tengah geliat global menuju transisi ekonomi biru, yakni pemanfaatan sumber daya laut secara regeneratif dan berkelanjutan, hukum kemaritiman Indonesia masih tertinggal dalam hal efisiensi, profesionalitas, dan kepastian hukum. Reformasi hukum kemaritiman kini bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.
Salah satu masalah utama adalah tumpang tindihnya regulasi penegakan hukum laut, terutama dalam proses pidana kemaritiman. Penangkapan kapal nelayan, baik dari dalam maupun luar negeri, sering dilakukan berdasarkan kebijakan yang tidak seragam antar lembaga penegak hukum. Akibatnya, investor dan pelaku usaha sektor kelautan menghadapi ketidakpastian yang melemahkan kepercayaan terhadap sistem hukum kita.
Proses hukum terhadap pelanggaran maritim seringkali memakan waktu lama, berbelit, dan tidak transparan. Tidak jarang, kapal yang disita bertahun-tahun tidak mendapatkan keputusan hukum final, hingga akhirnya rusak atau terbengkalai. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya manajemen hukum maritim Indonesia. Padahal, efisiensi hukum adalah prasyarat penting dalam membangun iklim investasi yang sehat di sektor maritim.
Tanpa kepastian hukum di laut, ekonomi biru hanyalah mimpi basah di atas gelombang. Pengadilan maritim bukan sekadar reformasi, tapi fondasi keadilan untuk generasi yang hidup dari dan untuk lautan.
Untuk itu, Indonesia memerlukan pembentukan Pengadilan Niaga Maritim atau Admiralty Court, yakni lembaga yudisial khusus yang menangani perkara-perkara niaga laut dan pidana kemaritiman secara profesional. Pengadilan ini harus didesain dengan kompetensi yuridis dan teknis kelautan yang tinggi, serta memiliki yurisdiksi lintas provinsi dan perairan.
Pengadilan semacam ini lazim di negara-negara maritim besar seperti Inggris, Singapura, dan Amerika Serikat. Mereka tidak hanya menyelesaikan sengketa niaga laut dengan cepat, tetapi juga menjadi fondasi utama kepastian hukum dalam ekosistem bisnis kelautan. Tanpa institusi yudisial khusus, hukum laut kita akan terus terseok-seok dalam birokrasi darat.
Lebih dari sekadar aspek penegakan hukum, pembentukan Admiralty Court juga merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam transisi menuju emisi nol bersih. Peradilan khusus ini dapat menjadi garda depan dalam penegakan hukum atas penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, pelarangan dumping limbah kapal, dan penerapan prinsip tangkap ikan secara berkelanjutan.
Reformasi hukum kemaritiman harus selaras dengan prinsip blue justice atau keadilan biru, yang mengedepankan perlindungan ekosistem, nelayan kecil, serta akses legal yang setara. Tidak boleh ada lagi kriminalisasi terhadap nelayan lokal karena kesalahan administratif semata, sementara pelaku eksploitasi besar lolos dari jerat hukum.
Ekonomi biru bukan hanya soal pelabuhan dan ekspor hasil laut. Ia adalah paradigma pembangunan yang meliputi seluruh ekosistem laut dan pesisir secara regeneratif. Dengan demikian, sektor pertambangan lepas pantai, eksplorasi energi bawah laut, dan infrastruktur pesisir harus tunduk pada prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.
Regulasi mengenai tambang laut, eksploitasi energi laut dalam, hingga pembangunan kawasan industri di pesisir harus diperkuat dengan analisis hukum berbasis ekosistem. Tidak ada pembangunan yang boleh mengorbankan integritas laut sebagai entitas ekologis. Untuk itu, kerangka hukum nasional perlu direvisi agar memasukkan konsep marine spatial justice atau keadilan tata ruang laut.
Selain pembentukan pengadilan khusus, diperlukan juga penyatuan basis data dan sistem informasi hukum kelautan nasional yang dapat diakses secara real-time oleh aparat dan pelaku usaha. Digitalisasi hukum maritim akan mempermudah harmonisasi kebijakan antar lembaga serta mempercepat penanganan perkara.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!