Tragedi longsor yang menewaskan 14 pekerja tambang dan menghancurkan tujuh dump truck serta tiga alat berat di kawasan tambang Galian C Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon, Jawa Barat, bukan sekadar bencana alam. Ini adalah puncak dari akumulasi kegagalan sistemik dalam tata kelola lingkungan dan keselamatan kerja di kawasan pertambangan rakyat maupun swasta yang telah lama diperingatkan.
Secara ekologis, kawasan Gunung Kuda termasuk dalam Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi. Artinya, sejak awal wilayah ini tidak layak untuk aktivitas eksploitasi mineral tanpa intervensi ketat mitigasi risiko dan pengawasan berbasis analisis geoteknikal lanjutan. Bahwa longsor pernah terjadi pada Oktober 2021 dan berulang pada Mei 2025 menunjukkan kelalaian kolektif yang patut disorot dari aspek regulasi dan etika ekologi pertambangan.
Teori lingkungan penambangan menyatakan bahwa setiap aktivitas ekstraksi harus memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ini berarti aktivitas penambangan tidak bisa hanya berorientasi pada volume produksi, melainkan harus mengutamakan keseimbangan ekologis. Pada kasus Gunung Kuda, kegiatan tambang telah melampaui ambang daya dukung geo-ekologi, ditambah dengan minimnya tindakan rekayasa teknis untuk stabilisasi lereng dan drainase.
Kondisi ini diperparah oleh rendahnya penerapan keselamatan kerja ekologis (ecological occupational safety), yakni pendekatan keselamatan yang bukan hanya melindungi pekerja dari bahaya langsung, tetapi juga memperhitungkan interaksi antara kondisi ekologis lokal dan sistem kerja tambang. Peringatan dari Gubernur Jawa Barat sejak 2021 menunjukkan bahwa aspek risiko ekologis telah diketahui, tetapi tidak dikawal dengan pengawasan teknis dan administratif yang cukup tegas dan menyeluruh.
Langkah Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menghentikan izin pengelolaan tambang Galian C di Gunung Kuda patut diapresiasi. Namun, penghentian semestinya tidak hanya bersifat administratif dan reaktif. Evaluasi menyeluruh terhadap semua pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) di kawasan rawan longsor di seluruh provinsi harus segera dilakukan. Tidak ada kompromi untuk izin tambang yang beroperasi di zona merah ekologi.
Tambang Galian C dikenal sebagai aktivitas ekstraksi material non-logam seperti pasir, kerikil, dan batu andesit yang umumnya dikelola dengan metode terbuka (open pit). Namun, jika metode ini tidak disertai dengan perencanaan spasial dan penguatan lereng, maka sangat rentan menyebabkan gerakan tanah, apalagi di musim hujan. Ketiadaan tanggul, drainase lereng, dan vegetasi penahan mempercepat terjadinya longsor.
Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa evaluasi perizinan sedang dilakukan dan beberapa izin IUP akan habis pada November 2025. Namun publik berhak mengetahui secara transparan siapa saja pemegang izin tersebut dan seperti apa hasil audit keselamatan dan lingkungan mereka selama ini. Transparansi adalah bagian penting dalam akuntabilitas ekologis.
Banyak tambang Galian C berada di bawah pengelolaan koperasi atau usaha kecil, sehingga pengawasan terhadap mereka seringkali longgar. Padahal, dalam konteks teori keadilan ekologis, keselamatan warga sekitar dan pekerja tambang memiliki derajat penting yang sama dengan keberlangsungan usaha. Negara wajib hadir menjamin bahwa ekonomi lokal tidak dibangun dengan mengorbankan keselamatan manusia dan lingkungan.
Penting bagi Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Barat yang memiliki topografi vulkanik dan curam, untuk memperkuat sistem deteksi dini longsor di kawasan tambang. Teknologi geoteknik seperti tilt sensor, ground penetrating radar, dan kamera pemantau bisa digunakan untuk memberikan peringatan dini. Sayangnya, teknologi ini masih jarang diterapkan pada tambang-tambang skala kecil-menengah.
Sebagai negara megabiodiversitas dengan keanekaragaman geologi yang tinggi, Indonesia memerlukan sistem manajemen pertambangan berbasis risiko ekologis (eco-risk mining management). Sistem ini tidak hanya fokus pada profit dan kepatuhan administratif, tetapi juga pada mitigasi risiko ekologis jangka panjang, dengan dukungan ilmiah dan partisipasi masyarakat sipil.
Tragedi ini juga menantang dunia akademik dan lembaga penelitian untuk lebih aktif turun tangan dalam proses penilaian dampak lingkungan (AMDAL) dan penyusunan peta rawan bencana berbasis data geospasial terkini. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan pelaku industri harus menjadi norma, bukan pengecualian.