Kasus Ayam Goreng Widuran di Solo yang viral karena menjual produk nonhalal tanpa label yang semestinya, membuka kembali luka lama soal rendahnya kesadaran halal dalam praktik bisnis di Indonesia. Diketahui dari ulasan pembeli di Google Review, rumah makan legendaris yang berdiri sejak 1973 ini ternyata menyajikan ayam yang tidak memenuhi kriteria halal. Lebih mengejutkan lagi, pelaku usaha sempat mencantumkan label halal tanpa sertifikasi resmi dan tidak transparan terhadap konsumen mayoritas Muslim.
Situasi ini menjadi refleksi penting atas lemahnya implementasi regulasi jaminan produk halal. UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) dan PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan JPH sejatinya mewajibkan pelaku usaha untuk mencantumkan label halal atau nonhalal sesuai kondisi produk. Fakta bahwa label tersebut tidak tercantum sebelumnya, jelas merupakan pelanggaran hukum dan pengabaian terhadap hak konsumen Muslim.
Wali Kota Solo, Respati Ardi, yang turun langsung dan menutup sementara rumah makan tersebut, menjadi bukti keseriusan pemerintah daerah dalam merespons keresahan publik. Namun, peristiwa ini tidak bisa selesai dengan sekadar tindakan administratif. Perlu ada pendekatan sistemik dan edukatif yang berkelanjutan untuk membangun ekosistem halal yang kokoh dan terpercaya.
Penting disadari bahwa halal bukan hanya label, tetapi juga bentuk kepatuhan spiritual sekaligus jaminan kualitas produk. Konsumen Muslim memiliki hak untuk mengetahui status kehalalan produk yang mereka konsumsi, dan produsen wajib memberikan informasi yang transparan. Ketika transparansi ini dikhianati, maka yang rusak bukan hanya kepercayaan publik, tetapi juga nilai-nilai etis dalam bisnis.
Halal bukan sekadar status, tapi komitmen spiritual untuk menjaga hati, tubuh, dan akal dari yang haram. Ketika konsumen sadar, pelaku usaha pun akan jujur. Di sinilah awal dari peradaban ekonomi yang berkah.
Kasus ini menunjukkan urgensi pengawasan terpadu dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta dinas-dinas terkait di daerah. Edukasi publik dan pembinaan kepada UMKM harus menjadi agenda prioritas. Banyak pelaku usaha yang masih menganggap label halal sebagai tambahan opsional, bukan kewajiban legal dan moral.
Padahal, pasar halal global saat ini tengah tumbuh pesat, dengan nilai mencapai lebih dari USD 2 triliun per tahun. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia harusnya menjadi episentrum industri halal dunia. Namun, potensi itu akan sulit diwujudkan bila ekosistem halal domestik saja masih bocor di sana-sini.
Masyarakat pun memegang peran penting. Kasus Ayam Goreng Widuran terungkap bukan karena audit BPJPH atau sidak dinas, melainkan dari kesadaran konsumen yang menuangkan pengalamannya di ruang digital. Ini menandakan pentingnya partisipasi publik dalam mengawal produk halal. Di sinilah kekuatan digital literacy umat Muslim perlu ditingkatkan.
Langkah advokatif seperti class action juga sah dan sesuai hukum positif di Indonesia. Bila ada pelanggaran yang berdampak pada konsumen luas, maka mekanisme gugatan kolektif bisa menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Ini sejalan dengan prinsip maslahah dalam maqashid syariah, yaitu melindungi umat dari mudarat.
Kita juga perlu merefleksikan ulang pentingnya literasi halal tidak hanya untuk makanan, tetapi juga untuk sektor lain seperti obat-obatan, kosmetik, fashion, hingga alat rumah tangga. Masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa bahan turunan dari babi atau unsur haram lainnya bisa hadir dalam bentuk kimiawi atau rekayasa bio-teknologi.
Dalam ekonomi syariah, halal dan thayyib (baik) adalah dua sisi mata uang. Produk tidak hanya harus halal secara fiqh, tetapi juga harus berkualitas, higienis, dan layak konsumsi. Oleh karena itu, sertifikasi halal bukan hanya prosedur administratif, tetapi bagian dari pembangunan peradaban Muslim yang bermartabat.