Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Kalah Secara Kolektif di Malaysia Masters 2025, Harga Mahal Rombakan PBSI

25 Mei 2025   06:03 Diperbarui: 25 Mei 2025   06:03 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan ganda putri Indonesia Febi/Apriyani takluk oleh pasangan China di semi final Malaysia Masters 2025 (Sumber: tribunnews.com)

Kegagalan kontingen bulu tangkis Indonesia menembus final di semua sektor pada Malaysia Masters 2025 adalah tamparan telak bagi dunia olahraga nasional. Ini bukan hanya kegagalan teknis di lapangan, tapi juga kegagalan manajerial dan kepelatihan yang mengindikasikan lemahnya respon sistemik terhadap tren permainan modern. Kegagalan ini menjadi rangkaian dari keterpurukan sebelumnya, yaitu di Toyota Thailand Open 2025, yang juga berakhir tanpa satu pun wakil Indonesia di partai final.

Indonesia mengirimkan 11 wakil di Malaysia Masters, terdiri dari dua tunggal putra, dua tunggal putri, satu ganda putra, empat ganda putri, dan empat ganda campuran. Namun dari komposisi tersebut, hanya dua pasangan yang mampu menembus babak semifinal, yaitu Dejan Ferdiansyah/Siti Fadia Silva Ramadhanti dari sektor ganda campuran dan Febi Setianingrum/Apriyani Rahayu dari sektor ganda putri. Ini artinya, mayoritas wakil Indonesia gugur di fase-fase awal, memperlihatkan lemahnya daya saing di level Super 500.

Hal yang paling mencolok dari kegagalan ini adalah keputusan PBSI seolah menjadikan turnamen sekelas Super 500 seperti Malaysia Masters sebagai ajang "eksperimen" terhadap hasil rombakan kepelatihan awal tahun 2025. Rombakan tanpa arah yang jelas bukan hanya menyia-nyiakan peluang meraih poin Olimpiade atau peringkat dunia, tetapi justru dapat merusak mental kompetitif atlet yang seharusnya sedang dipertajam.

Kegagalan bukan akhir, tapi panggilan untuk membangun ulang dari akar. Ketika lawan berkembang dengan ilmu kita, saatnya kita berhenti nyaman dalam nostalgia dan mulai menata sistem yang tak hanya melahirkan juara, tapi juga warisan prestasi jangka panjang.

Perubahan kepelatihan idealnya disertai dengan fondasi filosofi permainan yang matang. Namun dalam konteks ini, rombakan lebih menyerupai percobaan terbuka tanpa roadmap. Hal ini terlihat dari minimnya variasi serangan yang dibawa para pemain. Teknik dasar yang kurang berkembang seperti rotasi net drive yang tumpul atau kualitas defense yang pasif, membuat wakil Indonesia mudah ditebak dan dibaca lawan, terutama oleh negara-negara dengan pendekatan taktik adaptif seperti China, Jepang, termasuk negara yang sedang fokus dalam kompetisi seperti India dan Taipei.

Performa para pemain Indonesia juga menunjukkan betapa buruknya aspek adaptability terhadap perubahan taktik lawan. Ganda campuran misalnya, meski mengirim enam wakil, hanya satu pasangan yang mampu menembus semifinal. Ini bukan karena kurangnya kemampuan individu, tapi karena minimnya persiapan menghadapi taktik musuh yang kini lebih dinamis dan tidak lagi terpaku pada pola klasik.

Bandingkan dengan Malaysia, yang kini justru menjadi barometer keberhasilan hasil transfer ilmu dari Indonesia. Di bawah kepelatihan Herry Iman Pierngadi, Malaysia bukan hanya mampu memunculkan All Malaysian Final di sektor ganda putra, tapi juga mendominasi turnamen dengan gaya permainan yang dulu menjadi ciri khas Indonesia, yaitu cepat, eksplosif, dan memiliki kecerdikan rotasi.

Hal ironis lainnya adalah sektor ganda putra, yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia, justru kini menjadi simbol kegagalan. Tanpa satupun pasangan dikirim. Padahal, Indonesia menempatkan empat dari sepuluh peringkat teratas dunia pada sektor ganda putra, yaitu Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto di peringkat 5 dunia, Sabar Karyaman Gutama/Moh. Reza Pahlevi Isfahani yang menduduki ranking 8 dunia, Leo/Bagas di peringkat 9, serta dan Fikri/Daniel menempati peringkat 10. Sementara Malaysia justru menjadikan sektor ini sebagai etalase kekuatan baru. Ketika Herry IP memoles Aaron Chia/Soh Wooi Yik menjadi juara Thailand Open 2025, Indonesia bahkan tak punya wakil di final. Fenomena yang seharusnya menyadarkan PBSI akan krisis identitas kepelatihan kita.

Masalah lainnya adalah absennya strategi pengelolaan beban pertandingan. Beberapa pemain terlihat kelelahan karena agenda turnamen yang padat, namun tidak ada rotasi atau pembinaan pelapis yang siap. Di sini, manajemen pelatnas tampak stagnan. Padahal negara-negara lain sudah sejak 2022 mulai membentuk tim "pengembangan level dua" yang aktif diberi jam terbang di tur Eropa dan Asia. Sebutlah sosok Siti Fadia Silva Ramadhanti yang tetap diturunkan main untuk ganda putri sekaligus ganda campuran pada turnamen yang sama, sehingga rentan kelelahan maupun cedera yang mengancam. 

Jika dicermati lebih dalam, ada indikasi bahwa PBSI belum memiliki sistem evaluasi yang menyatu antara pelatih, manajer, dan analis data pertandingan. Akibatnya, feedback atas kekalahan tidak terintegrasi ke dalam rencana latihan berikutnya. Kekalahan di Thailand Open seharusnya menjadi peringatan dini, namun pola yang sama terulang di Malaysia Masters.

Selain itu, ketergantungan pada satu-dua pemain kunci menjadikan kontingen Indonesia seperti menumpukan harapan pada individu, bukan sistem kolektif. Ini berbanding terbalik dengan China, Jepang, atau Korea yang membentuk kultur kompetitif internal sehingga siapa pun yang turun bisa tampil optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun