Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump pada 19 Mei 2025 secara resmi menandatangani Take It Down Act. Sebuah tonggak penting dalam upaya hukum memberantas penyebaran konten intim tanpa izin, termasuk yang dimanipulasi oleh kecerdasan buatan (AI). Undang-undang ini secara eksplisit menargetkan kejahatan revenge porn, termasuk konten deepfake, dan memberi perlindungan hukum yang kuat bagi korban. Indonesia, dengan perkembangan teknologi digital yang begitu masif, sudah saatnya meniru langkah maju ini.
Fenomena revenge porn bukan barang baru di Indonesia. Namun, pendekatan hukum kita masih menggunakan perangkat lama, yakni UU ITE dan UU Pornografi yang tidak didesain khusus untuk menangani konteks penyebaran konten intim yang dibuat secara manipulatif dengan AI. Di sinilah letak kealpaan sistem hukum kita. Perlu ada pembaruan hukum pidana yang berakar pada realitas sosial,   yakni pendekatan sosiologi hukum, yang memahami bahwa hukum seharusnya responsif terhadap perubahan teknologi dan dinamika sosial.
Dalam konteks sosiologi hukum, hukum harus hadir sebagai refleksi atas kegelisahan masyarakat. Hari ini, kegelisahan itu muncul dari penyalahgunaan teknologi AI, terutama dalam bentuk deepfake yang memalsukan wajah dan suara seseorang. Bahkan belum lama ini, masyarakat dibuat geger oleh video deepfake yang menggambarkan Presiden Prabowo dan mantan Presiden Jokowi dalam narasi fiktif, padahal konten itu dibuat tanpa persetujuan mereka. Apa jadinya jika itu terjadi pada warga sipil?
Take It Down Act di Amerika memberi rambu tegas, siapa pun yang menyebarkan konten intim tanpa izin, baik asli maupun hasil rekayasa AI, dapat dipidana hingga 3 tahun penjara. Ini adalah bentuk perlindungan terhadap harga diri, integritas digital, dan keamanan privat warga. Sementara di Indonesia, aparat penegak hukum masih berkutat menentukan pasal yang tepat dalam UU ITE yang multitafsir dan dalam UU Pornografi yang lebih banyak digunakan untuk kasus lain.
Ketika teknologi melaju tanpa batas, hukum harus hadir sebagai pagar moral dan pelindung martabat. Jangan biarkan kecanggihan AI menjadi alat perendahan manusia. Saatnya Indonesia berdiri melindungi warganya di dunia digital.
Sebagai negara dengan mayoritas masyarakat yang religius, norma sosial Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan kehormatan pribadi. Namun, kita belum memiliki perangkat hukum yang eksplisit menegaskan bahwa pencemaran nama baik melalui konten intim digital adalah bentuk kekerasan berbasis teknologi. Padahal, di lapangan, korban perempuan dan anak sering kali menjadi sasaran utama dari kejahatan ini.
Ketiadaan regulasi yang spesifik membuat ruang abu-abu dalam penegakan hukum. Polisi kerap bingung menentukan batas antara ekspresi digital, manipulasi AI, dan tindakan pidana. Akibatnya, banyak korban yang akhirnya memilih diam karena tak tahu harus mengadu ke mana. Inilah yang disebut dalam sosiologi hukum sebagai kegagalan sistem hukum dalam melindungi kelompok rentan.
Jika Indonesia meniru poin-poin dalam Take It Down Act, maka kita bisa menyusun undang-undang nasional yang berfokus pada non-consensual intimate imagery, deepfake, dan konten berbasis AI lainnya. Regulasi ini juga akan menjadi guideline penting bagi penyidik dan hakim untuk menilai intensi, motif, dan dampak psikologis terhadap korban.
UU yang dimaksud tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif. Ia dapat memuat mekanisme pelaporan cepat, perintah penghapusan konten dari platform digital, dan peran aktif Kominfo sebagai otoritas pelindung siber. Ini tidak sekadar hukum pidana biasa, tetapi hukum yang berbasis pada perlindungan digital masyarakat Indonesia.
Di era digitalisasi masif, reputasi digital seseorang menjadi bagian dari hak asasi. Ketika seseorang dipermalukan lewat konten intim atau deepfake, maka itu adalah bentuk pelanggaran atas hak martabat dan privasi. Oleh karena itu, penyusunan UU semacam Anti-AI Deepfake Pornography sangat mendesak. Ia akan menjadi instrumen kontrol sosial baru, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Kita pun dapat belajar dari pendekatan hukum pidana progresif bahwa hukum bukan sekadar alat balas dendam negara terhadap pelaku kejahatan, tapi juga alat rekonstruksi keadilan sosial. Hukum harus mampu memulihkan korban, mengedukasi publik, dan menegaskan batas-batas etika teknologi di ruang digital.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!