Ketika Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membeberkan fakta bahwa stroke menjadi pembunuh nomor satu di Indonesia dengan 300 ribu kematian per tahun, kita tertegun sejenak. Sesungguhnya ini bukanlah berita baru, tapi ketika data itu diumumkan ke publik maka menjadi panggilan darurat bagi bangsa ini. Kita sedang menghadapi epidemi penyakit kronis yang tak kalah mematikan dari pandemi COVID-19.
Stroke, jantung, kanker, dan ginjal bukanlah penyakit yang datang seperti petir menyambar. Penyakit itu mengendap dalam tubuh diam-diam, seperti gunung api yang menunggu waktu meletus. Kita sering terlena, merasa baik-baik saja, padahal tubuh sedang menyimpan bom waktu. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mengungkapkan bahwa prevalensi stroke sudah mencapai 8,3 per 1.000 penduduk. Ini adalah angka yang harus mengusik nurani kita bersama.
Sayangnya, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya deteksi dini masih rendah. Program cek kesehatan gratis yang diluncurkan pemerintah pada 10 Februari 2025, hingga pertengahan Mei, baru diakses oleh 5,3 juta orang dari target 50 juta. Ini menandakan ada yang keliru, bukan pada niat, tapi pada pelaksanaan dan pendekatan.
Kita bisa memahami bahwa masyarakat kita bukan tidak peduli, tapi belum mendapatkan edukasi yang tepat. Masyarakat datang ke layanan kesehatan bukan sekadar ingin tahu tekanan darah dan kadar gula saja. Mereka ingin rasa aman. Ingin kepastian. Ingin tahu apakah mereka menyimpan risiko kanker, atau penyakit jantung yang bisa merenggut nyawa ayah atau ibu mereka.
Ketika program cek kesehatan gratis hanya berakhir di meja pemeriksaan tensi dan gula darah, masyarakat merasa seperti membeli tiket bioskop tapi hanya ditunjukkan trailer filmnya. Kekecewaan ini bisa dimaklumi. Harapan mereka sederhana, ketika datang ke puskesmas atau posyandu, mereka ingin didengarkan dan dilayani sepenuh hati.
Lebih dari itu, akses teknologi melalui aplikasi Satu Sehat juga menjadi penghalang. Tidak semua masyarakat, terutama di desa-desa, memiliki pemahaman atau kemampuan menggunakan aplikasi. Maka jangan salahkan rakyat jika enggan mendaftar. Kita butuh pendekatan yang membumi, bukan yang hanya menggantung di awan-awan digitalisasi. Bahkan, generasi yang melek digital pun banyak yang mengeluh tentang pendaftaran pada aplikasi Satu Sehat itu sendiri.
Penyakit itu tidak datang tiba-tiba, tapi kita sering datang terlambat. Maka satu-satunya cara untuk menang melawan penyakit kronis adalah pencegahan dan deteksi dini. Dan ini hanya bisa dilakukan bila masyarakat dibekali literasi kesehatan yang kuat. Literasi kesehatan adalah benteng pertama pertahanan bangsa. Tanpa pemahaman yang benar, masyarakat akan terus percaya mitos bahwa sakit adalah nasib. Padahal tidak. Penyakit kronis adalah hasil dari pola hidup yang tidak sehat yang kita pelihara bertahun-tahun. Maka yang harus kita ubah adalah kesadaran, bukan sekadar memberi obat.
Penyakit kronis tidak datang tiba-tiba, ia tumbuh dari kebiasaan kecil yang diabaikan. Hidup sehat bukan pilihan, tapi tanggung jawab. Mulailah hari ini, karena satu langkah sadar hari ini bisa menyelamatkan nyawa kita dan generasi setelah kita.
Gaya hidup dengan konsumsi gula dan garam berlebih, stres kronis, kurang tidur, dan minimnya aktivitas fisik adalah biang keladi utama penyakit tidak menular. Namun ironi terbesar adalah, kita tahu apa yang salah, tapi kita tetap melakukannya. Inilah mengapa kampanye kesehatan harus digalakkan dengan cara yang menginspirasi, bukan menggurui.
Kita perlu membuat cek kesehatan bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai gaya hidup. Seperti orang rutin ke salon atau bengkel motor. Pemerintah harus mengemas program ini dengan insentif sosial dan pendekatan budaya. Ajak tokoh masyarakat, ustaz, seniman, dan kader posyandu sebagai duta literasi kesehatan. Tanpa kolaborasi sosial, program ini akan terus sepi.
Kita juga perlu menuntut sistem layanan kesehatan yang lebih menyeluruh. Pemeriksaan deteksi dini seharusnya mencakup minimal tekanan darah, gula darah puasa, kolesterol total, indeks massa tubuh, dan skrining kanker dasar seperti IVA, PSA, atau CEA sesuai kelompok usia. Tanpa itu, deteksi dini hanya jadi slogan kosong.