Kunjungan resmi Perdana Menteri Australia Anthony Albanese ke Indonesia pada 15 Mei 2025, sehari setelah pelantikan, merupakan sinyal strategis yang sarat makna. Menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjungi usai terpilih kembali, Albanese menunjukkan betapa pentingnya posisi Indonesia dalam kebijakan luar negeri Australia, khususnya dalam kerangka kemitraan strategis komprehensif kedua negara.
Pertemuan bilateral yang berlangsung di Istana Merdeka mengukuhkan komitmen kedua negara untuk memperkuat kerja sama yang saling menguntungkan dalam berbagai bidang, terutama di tengah dinamika kawasan Indo-Pasifik yang semakin kompleks. Komitmen ini tidak hanya simbolis, tetapi merupakan langkah konkret dalam membangun arsitektur keamanan dan keseimbangan strategis regional yang stabil.
Dalam teori hubungan internasional, terutama pendekatan realisme ofensif, negara-negara besar akan membentuk aliansi dan kemitraan untuk mempertahankan status quo atau menghalau ancaman regional. Dalam konteks ini, Indonesia dan Australia memiliki posisi unik sebagai middle powers yang berada di jantung kawasan Indo-Pasifik, menjadikan keduanya aktor kunci dalam menjamin stabilitas regional.
Kemitraan strategis komprehensif yang dideklarasikan sejak 2018 kini memasuki babak baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Albanese. Prabowo, dengan latar belakang militer dan pengalaman geopolitik yang luas, menunjukkan intensi kuat untuk menyeimbangkan hubungan global dan memperkuat kerja sama regional demi kepentingan nasional dan kawasan.
Sementara itu, Albanese, pemimpin Partai Buruh yang dikenal pragmatis dan pro-integrasi kawasan, memandang Indonesia bukan sekadar tetangga geografis, tetapi mitra strategis dalam menjaga jalur perdagangan, keamanan maritim, dan stabilitas politik di kawasan. Pertemuan empat mata mereka mempertegas visi bersama ini.
Isu-isu utama yang menjadi sorotan dalam pertemuan ini mencakup keamanan maritim, pemberantasan kejahatan lintas batas, penanggulangan ekstremisme, serta kolaborasi pertahanan melalui latihan militer bersama. Isu-isu tersebut merupakan cerminan ancaman non-tradisional yang kini menjadi prioritas dalam agenda keamanan kawasan.
Lebih jauh, kemitraan ini memperlihatkan konvergensi kepentingan antara Indonesia dan Australia dalam menghadapi rivalitas strategis antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Tanpa harus memilih blok, kedua negara memainkan peran sebagai penstabil kawasan dan penyeimbang kekuatan (balancer) dalam sistem internasional yang semakin multipolar.
Dari sudut pandang hukum diplomasi internasional, kunjungan ini juga mencerminkan bentuk pengakuan terhadap legitimasi pemerintahan Presiden Prabowo oleh salah satu mitra penting regional. Ini memperkuat posisi Indonesia dalam pergaulan internasional serta membuka ruang baru dalam diplomasi pertahanan dan ekonomi bilateral.
Penting dicatat bahwa Indonesia dan Australia juga memiliki peran strategis dalam ASEAN dan Pacific Islands Forum. Kolaborasi dalam platform regional ini memungkinkan sinergi kebijakan luar negeri dan pertahanan yang lebih luas, sekaligus menegaskan komitmen terhadap multilateralisme dan tatanan internasional berbasis aturan (rules-based order).
Namun, tantangan tidak kecil. Ketegangan Laut Tiongkok Selatan, isu perubahan iklim, hingga krisis kemanusiaan di wilayah Pasifik mengharuskan kedua negara untuk mengelola perbedaan dengan cermat dan menjaga komunikasi strategis secara berkesinambungan. Diplomasi pertahanan dan people-to-people contact perlu diperkuat sebagai pondasi kemitraan jangka panjang.
Pendidikan, teknologi pertahanan, dan industri strategis menjadi bidang prospektif yang dapat digarap bersama. Dalam konteks ini, investasi Australia dalam sektor pendidikan tinggi dan pertukaran pelajar Indonesia menjadi investasi jangka panjang bagi diplomasi lunak (soft diplomacy) yang akan memperkuat hubungan antar masyarakat.