Ramadan tahun ini terasa istimewa. Bukan hanya karena kami bisa menjalankannya dalam keadaan sehat, tetapi karena saya, seorang ayah dari lima anak, memutuskan untuk mengajak seluruh keluarga mudik ke Semarang dengan cara yang berbeda, naik kereta api Argo Muria dari Stasiun Gambir. Ini bukan sekadar perjalanan, ini adalah perayaan cinta, kesabaran, dan kenangan yang kelak akan kami simpan dalam hati masing-masing.
Banyak yang bertanya, "Lima anak? Naik kereta?" Saya hanya tersenyum. Karena sesungguhnya, justru kereta api jarak jauh dari KAI-lah yang paling ramah untuk perjalanan bersama keluarga besar. Dengan keberangkatan pukul 21.00 dari Gambir, saya bahkan masih bisa memimpin salat Tarawih bersama anak-anak di mushola kecil di Stasiun Gambir. Setelah itu, kami pun bisa menunggu kereta di stasiun dengan hati tenang dan semangat yang penuh.
Stasiun Gambir malam itu terasa magis. Lampu-lampu temaram, petugas berseragam ramah, dan alunan azan isya yang menggema dari kejauhan menciptakan suasana khidmat. Kami masuk peron dengan tertib, anak-anak tak berhenti takjub melihat gerbong Argo Muria yang gagah menyambut kami seperti sahabat lama.
Di dalam kabin kelas eksekutif, anak-anak langsung bersorak. Tempat duduknya lebar, empuk, dan bisa disandarkan nyaman. AC dinginnya pas, pencahayaannya hangat, dan colokan tersedia di setiap kursi. "Ayah, ini seperti hotel yang bisa berjalan," kata si bungsu dengan mata bersinar. Saya mengangguk sambil tersenyum. "Benar, Nak. Tapi ini lebih dari itu. Ini rumah kita malam ini."
Petugas KAI menyapa kami dengan senyum dan menyodorkan handuk hangat serta teh manis dalam cangkir plastik elegan. Anak-anak merasa seperti tamu istimewa. Pelayanan ini bukan hanya profesional, tapi juga personal seakan mereka paham betapa pentingnya perjalanan ini bagi kami.
Di jam-jam pertama perjalanan, kami duduk melingkar. Saya bercerita tentang kisah masa kecil saya mudik dengan ayah saya, betapa dulu jalanan penuh kemacetan dan kami harus berdesakan di bus. Tapi malam ini, bersama kereta Argo Muria, kami melaju cepat dan mulus, bebas dari stres dan suara klakson.
Anak-anak kemudian menikmati hiburan dari layar monitor di depan kursi. Ada film, ada musik, bahkan ada informasi tentang sejarah stasiun-stasiun yang kami lalui. Mereka belajar sambil tertawa. Sesekali mereka mengintip ke luar jendela, melihat malam yang berlari sambil menyimpan rahasia Ramadan.
Sekitar pukul 23.00, mereka mulai mengantuk. Saya mengatur sandaran kursi mereka, selimut tersedia dan kabin semakin hening. Mereka pun tertidur satu per satu, berbaring nyaman dalam dekapan malam dan deru lembut roda besi yang menggelinding menuju tanah leluhur kami, Semarang.
Saya sendiri tak langsung tidur. Saya duduk termenung menatap kaca. Ada rasa syukur yang dalam. Di zaman ini, kereta api Indonesia telah berubah menjadi simbol kemajuan yang beradab. Bukan sekadar transportasi, tapi ruang yang memberi tempat bagi nilai-nilai kekeluargaan, kenyamanan, dan keberkahan.
Jam menunjukkan pukul 02.30 ketika kami memasuki wilayah Jawa Tengah. Lampu-lampu kecil mulai tampak dari kejauhan. Saya membangunkan anak-anak dengan lembut. Mereka membuka mata perlahan, tersenyum, dan berkata, "Sudah sampai ya, Yah?" Saya mengangguk. "Hampir, Nak. Bersiaplah menyambut Subuh di kampung halaman."
Saat kereta berhenti di Stasiun Tawang tepat pukul 03.00, langit mulai berubah warna. Udara Semarang menyapa kami dengan kesejukan Ramadan. Stasiun yang megah itu tampak seperti gerbang waktu yang membawa kami dari rutinitas ibu kota menuju kehangatan kampung halaman.