Sejak 2 Mei 2025, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menggulirkan sebuah langkah berani dan tak lazim dalam dunia pendidikan anak, mengirim 239 anak-anak yang dianggap "nakal" ke barak militer. Anak-anak bermasalah ini berasal dari berbagai wilayah seperti Depok, Bogor, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Sukabumi. Program ini telah menjadi magnet perhatian publik, menuai pujian juga kritik. Namun satu hal yang patut digarisbawahi, pendekatan ini bukanlah bentuk hukuman, melainkan pendidikan alternatif.
Banyak yang salah kaprah menganggap barak militer sebagai tempat represif. Faktanya, barak yang dikelola dalam program ini bukanlah ladang hukuman fisik atau kekerasan sistemik, melainkan ruang pembentukan karakter berbasis disiplin, tanggung jawab, dan kesadaran kebangsaan. Dukungan Menteri HAM Natalius Pigai terhadap program ini semakin menegaskan bahwa pendekatan ini bukanlah bentuk corporal punishment, melainkan transformasi sosial bagi anak-anak yang selama ini tersisih oleh sistem pendidikan formal.
Secara sosiologis, perilaku menyimpang pada remaja tidak muncul dalam ruang hampa. Anak-anak yang dianggap nakal seringkali hanyalah produk dari lingkungan yang disfungsional, keluarga yang retak, atau sekolah yang gagal memberikan rasa aman dan makna. Maka, memindahkan mereka ke ruang baru yang terstruktur, penuh aturan, dan konsisten, bisa menjadi pintu masuk menuju rekonstruksi diri.
Program ini menjanjikan potensi pembentukan self-regulation dan self-respect. Anak yang selama ini hidup dalam lingkungan permisif atau penuh kekerasan emosional dapat belajar bahwa hidup teratur dan hormat pada nilai bukanlah bentuk penindasan, melainkan kebutuhan untuk menjadi manusia utuh. Program ini menjadi penting karena mampu meretas dominasi pendekatan hukuman dalam menangani anak bermasalah. Dibandingkan memukul, mencaci, atau mengisolasi, pelatihan militer yang terukur dan humanis justru memberi mereka ruang belajar yang aman. Di sini, anak-anak bukan dijatuhi hukuman, melainkan ditawarkan harapan.
Menteri HAM Natalius Pigai menyebut bahwa ini adalah bagian dari pendidikan bela negara. Dan memang, membela negara tidak hanya lewat senjata, tapi juga lewat perubahan perilaku dan moralitas. Anak-anak ini diajak memahami bahwa menjadi warga negara yang baik dimulai dari disiplin pribadi dan kesadaran sosial.
Hal penting lainnya adalah bagaimana negara menghadirkan support system yang sehat. Banyak anak nakal tumbuh dari sistem yang rusak, sebagaimana orang tua yang abai, teman sebaya yang toksik, atau institusi pendidikan yang meminggirkan mereka. Barak militer bisa menjadi reset button yang memberikan lingkungan baru, bebas dari pengaruh negatif.
Namun, tentu kita tidak bisa tutup mata bahwa pendekatan ini harus terus diawasi secara ketat. Jangan sampai semangat pembinaan berubah menjadi otoritarianisme. Oleh sebab itu, penting untuk melibatkan psikolog, pendidik, sosiolog, dan pemerhati anak dalam merancang kurikulum dan evaluasi hasil dari pelatihan ini.
Kita juga perlu mengedepankan prinsip restorative justice dalam dunia pendidikan. Anak-anak tidak semestinya diperlakukan sebagai pelaku kriminal. Mereka adalah korban dari sistem sosial yang gagal memberi arah. Maka dari itu, alih-alih dihukum, mereka perlu dibimbing secara intensif agar kembali pada jalur pertumbuhan positif.
Fakta bahwa program ini dilakukan secara bertahap dan kini mencakup ratusan anak dari berbagai kota menunjukkan adanya skala dampak yang signifikan. Ini bisa menjadi model nasional jika dievaluasi dan dimodifikasi sesuai kebutuhan lokal. Tiap daerah memiliki kultur dan tantangan sosialnya masing-masing.
Hal yang harus diingat, ini bukan tentang mengubah anak nakal menjadi "tentara kecil," tetapi membangun manusia muda yang tangguh secara mental, terarah secara perilaku, dan sadar akan nilai-nilai sosial. Disiplin bukanlah kekerasan, jika dilakukan dengan cinta dan batasan yang sehat. Penting juga memastikan keterlibatan orang tua dalam proses pembinaan. Pendidikan di barak bukanlah solusi tunggal. Usai pelatihan, anak-anak ini akan kembali ke rumah. Tanpa perubahan di rumah dan lingkungan, risiko kekambuhan perilaku tetap tinggi. Maka, sinergi keluarga dan komunitas harus dibangun sejak dini.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hak anak, kita harus melihat pendekatan seperti ini sebagai bagian dari upaya perlindungan hak tersebut. Hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang relevan, untuk diselamatkan dari lingkungan buruk, dan untuk diberi kesempatan kedua, semua itu termaktub dalam program ini jika dijalankan dengan prinsip-prinsip etik.