Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cyber Sadism: Kala Media Sosial Jadi Cermin Sadisme Masyarakat

10 Mei 2025   05:46 Diperbarui: 10 Mei 2025   05:46 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masyarakat dalam bayang-bayang sadisme (Sumber: counselingnow.com)

Seorang nenek renta, wajahnya berlumur darah, bajunya koyak, menuruni anak tangga pasar di Boyolali. Ia terlihat limbung, tapi sorot kamera yang merekamnya tak goyah, gambar jernih, stabil, dan viral. Publik tak menyoroti penderitaannya, melainkan larut dalam komentar, lelucon, bahkan stiker lucu. Nama nenek itu SA, 67 tahun, dituduh mencuri dua kilogram bawang putih. Bukan miliaran, hanya Rp90.000. Tapi ia dikeroyok hingga babak belur.

Empat hari sebelumnya, di Cianjur, kisah pilu lain terjadi. Asyah, seorang nenek berusia 76 tahun, pulang dari Sukabumi usai mengambil dana pensiun almarhum suaminya. Lelah, ia minta ditemani seorang anak kecil yang malah lari ketakutan. Warga langsung menuduhnya penculik. Tanpa klarifikasi, Asyah dipukuli ramai-ramai. Kamera kembali menyala. Tayangan berdarah itu jadi viral, dibagikan ulang dengan caption mengejek.

Dua kasus ini bukan sekadar kekerasan biasa. Mereka menandai fenomena yang lebih gelap, cyber sadism. Sadisme yang kini tak membutuhkan pisau atau cambuk, hanya kamera ponsel dan akun media sosial. Kekerasan menjadi tontonan, bahkan hiburan. Lalu muncul pertanyaan penting: mengapa masyarakat begitu menikmati kekerasan?

Dalam pendekatan psikologi patologi sosial, kondisi ini disebut sebagai gejala dehumanisasi kolektif. Manusia mulai kehilangan empatinya karena terbiasa menonton penderitaan tanpa harus terlibat emosional. Kekerasan menjadi komoditas visual, penderitaan menjadi bahan sensasi. Seperti film horor, hanya saja ini nyata, dan korbannya adalah mereka yang paling lemah.

Sadisme bukanlah hal baru. Namun dalam masyarakat digital, ia menemukan medium yang sangat efektif untuk berkembang: media sosial. Teori disinhibisi online dari John Suler menjelaskan bagaimana internet menghilangkan batas moral karena tidak ada konsekuensi langsung. Orang merasa bebas berkata kejam, membagikan kekerasan, bahkan menertawakannya.

Media sosial tidak menciptakan sadisme, tapi ia memperkuatnya. Setiap kali video kekerasan viral, kita ikut mengabadikan luka, membekukannya dalam algoritma. Kita membagikan kekejaman bukan untuk melawan ketidakadilan, tapi karena rasa penasaran, sensasi, atau hiburan. Inilah wajah masyarakat digital yang sedang mengalami erosi moral kolektif.

Jika ditelisik lebih dalam, masyarakat urban yang penuh tekanan sosial dan ekonomi cenderung mencari katarsis pada objek yang dianggap "lemah dan bersalah." Seorang nenek miskin yang dituduh mencuri menjadi pelampiasan ideal. Ia tidak mampu melawan, tidak punya kuasa, dan hal yang lebih ironis tidak bisa membalas secara hukum.

Psikologi patologi sosial menyebut ini sebagai agresi substitusi. Ketika masyarakat tidak mampu melampiaskan kemarahan pada sistem yang timpang, mereka mencari korban pengganti yang lemah. Dalam kasus SA dan Asyah, mereka menjadi simbol dari kemarahan yang salah alamat: atas ketimpangan ekonomi, kegagalan negara menjamin rasa aman, dan frustrasi sosial.

Sayangnya, kekerasan ini tidak berhenti di dunia nyata. Ia berlanjut di dunia maya. Korban menjadi bahan tertawaan, editan meme, bahkan konten lucu di TikTok dan Instagram. Dalam waktu singkat, masyarakat berubah dari pelaku, penonton, hingga produsen sadisme digital. Fenomena ini mirip dengan konsep crowd psychology ala Gustave Le Bon, di mana individu kehilangan akal sehatnya saat menjadi bagian dari massa. Dalam era digital, massa itu adalah netizen. Satu komentar jahat diikuti ratusan lainnya. Kepekaan moral lenyap ditelan "keramaian" virtual.

Apa yang seharusnya menjadi rasa malu kolektif justru menjadi kebanggaan digital. Konten viral artinya eksistensi. Semakin ekstrem videonya, semakin tinggi klik dan komentar. Inilah patologi sosial baru kita, bahwa penderitaan orang lain menjadi mata uang populer yang ditukar dengan likes dan views. Bukan berarti media sosial sepenuhnya buruk. Ia bisa menjadi alat penyadaran, alat kampanye keadilan. Tapi selama algoritma lebih menyukai kekerasan ketimbang empati, selama publik lebih suka menonton ketimbang membantu, maka media sosial akan terus menjadi taman bermain bagi sadisme virtual.

Sudah saatnya kita bicara jujur: masyarakat kita sakit. Sakit karena terlalu lama disuguhi kekerasan, terlalu sering melihat penderitaan, hingga akhirnya tidak lagi peduli. Patologi sosial ini perlu ditangani dengan literasi empati, pendidikan kritis, dan penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku kekerasan massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun