Apa jadinya ketika hukum yang seharusnya melindungi, justru menakutkan? Itulah yang dirasakan Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan yang hanya ingin menyuarakan kegelisahan soal pencemaran limbah tambak udang di Karimunjawa, Jepara. Video yang diunggahnya di media sosial tanpa menyebut nama, tanpa muatan kebencian, justru membawanya ke kursi terdakwa. Ia dijatuhi hukuman penjara 7 bulan oleh Pengadilan Negeri Jepara. Untungnya, vonis itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Tapi luka itu terlanjur ada.
Bukan hanya Daniel. Seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar juga terjerat kasus serupa. Ia mengunggah video teman sesama jaksa yang menggunakan mobil dinas untuk urusan pribadi. Bukan hoaks, bukan fitnah. Tapi ia terancam pidana karena dianggap menimbulkan "kerusuhan." Kata yang multitafsir. Kata yang akhirnya diuji di Mahkamah Konstitusi.
Lalu tibalah hari ketika MK bicara. Dua permohonan uji materi yang diajukan Daniel dan Jovi dikabulkan sebagian oleh MK. Tapi sebagian itu cukup bermakna. MK membatasi tafsir pasal-pasal "karet" dalam UU ITE. Terutama Pasal 27A, 28 ayat (2), dan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2024. Tidak boleh lagi seenaknya mempidanakan orang hanya karena unggahan yang tak menyenangkan hati segelintir elite.
Kritik bukan kejahatan. Menyuarakan kebenaran di ruang digital adalah hak, bukan ancaman. Putusan MK soal UU ITE adalah kemenangan akal sehat dan hukum yang berpihak pada rakyat.Â
Di sinilah hukum progresif bicara. Sebagaimana ditekankan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, hukum tidak boleh kaku dan hanya berpegang pada teks. Hukum harus hidup, bergerak, dan menyatu dengan keadilan sosial. Apa yang dilakukan Daniel dan Jovi adalah bentuk partisipasi warga negara dalam mengontrol jalannya negara. Kritik dan laporan semacam itu justru harus dilindungi.
Dalam putusan untuk Jovi, MK menegaskan bahwa "kerusuhan" hanya berlaku jika terjadi di ruang fisik. Bukan keributan di media sosial. Ini langkah penting untuk membedakan ruang digital sebagai tempat debat ide, bukan ladang kriminalisasi. Putusan ini sekaligus menegaskan bahwa UU ITE tidak bisa digunakan semena-mena.
Sudah terlalu lama kita hidup dalam ketakutan digital. Banyak orang memilih diam daripada menulis. Banyak yang takut mengkritik karena ancaman UU ITE. Padahal, demokrasi justru bertumbuh lewat suara rakyat, bukan kesunyian paksa. MK memberi secercah harapan bahwa hukum masih punya nurani.
Peristiwa dari hasil putusan MK patut dijadikan sebagai momentum koreksi. Kita harus membedakan antara penghinaan personal dengan kritik publik. Kita harus mampu memilah antara hoaks yang membahayakan dengan opini yang menantang. Dan kita harus berani menyatakan bahwa hukum pidana bukan alat untuk membungkam rakyat.
Putusan MK ini juga menunjukkan pentingnya kepastian hukum. Pasal-pasal dalam UU ITE harus dipahami secara ketat, jelas, dan tidak multitafsir. Dalam doktrin hukum pidana, kita mengenal asas lex certa (kepastian hukum), lex stricta (tafsir ketat), dan lex scripta (tertulis). Tanpa kepastian, hukum berubah menjadi alat kekuasaan, bukan keadilan.
Yang menarik, kasus Jovi menunjukkan bahwa bahkan penegak hukum pun bisa menjadi korban. Itu artinya, tidak ada yang aman dari pasal-pasal karet, bahkan mereka yang duduk di lembaga penegakan hukum. Jika jaksa saja bisa dikriminalisasi karena mengkritik, bagaimana dengan rakyat biasa?
Kini bola ada di tangan pembentuk undang-undang. DPR dan Pemerintah wajib menindaklanjuti putusan MK ini. UU ITE harus direvisi secara menyeluruh, bukan hanya tambal sulam. Harus ada jaminan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, kritik sosial, dan pengungkapan fakta publik.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!