Rapat Komisi I DPR RU pada 30 April 2025 menyibak satu fenomena kedaulatan udara Indonesia cenderung terkalahkan oleh penerbangan komersial. Pernyataan itu disampaikan oleh Letjen TNI (Purn.) Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat Komisi I DPR RI dengan nada tegas, bahkan cukup keras: "Pertahanan udara kita dikalahkan kepentingan komersial!" Ucapan itu tidak datang dari sembarang orang. Ini suara dari mantan Wakil Menteri Pertahanan yang sudah puluhan tahun bergulat dengan dunia pertahanan negara.
Apa yang dimaksud Pak Sjafrie bukan sekadar kekurangan radar atau minimnya jumlah jet tempur. Hal yang beliau soroti adalah bagaimana pangkalan udara TNI yang seharusnya menjadi basis pertahanan udara nasional, semakin banyak yang "berbagi" dengan bandara penerbangan sipil. Bahkan dalam beberapa kasus, fungsi militer harus mengalah karena terminal komersial terus diperluas.
Tentu ini bukan sekadar isu teknis. Ini soal prinsip kedaulatan. Ruang udara Indonesia bukan ruang bebas. Ia adalah ruang yang berdaulat, sebagaimana ditegaskan oleh Konvensi Chicago 1944. Kita punya hak eksklusif untuk mengontrol siapa yang masuk dan keluar dari wilayah udara kita. Tapi hak itu hanya bisa ditegakkan kalau kita punya kekuatan.
Ketika pangkalan udara militer dikompromikan demi bandara komersial, yang tergadai bukan hanya tanah, tapi juga kedaulatan. Pertahanan udara bukan sekadar infrastruktur, melainkan garis pertama eksistensi sebuah negara.
Apa saja yang dibutuhkan untuk menegakkan kedaulatan udara? Tiga hal utama yang mutlak dimiliki, yaitu radar, pesawat, dan landasan udara. Tanpa landasan, pesawat tidak bisa terbang. Tanpa radar, kita tidak tahu ancaman datang dari mana. Dan tanpa ruang, kita tidak bisa menaruh semua itu.
Sayangnya, inilah yang sedang terjadi bahwa ruang pertahanan udara kita terus digerus oleh kepentingan ekonomi. Bandara tumbuh, terminal dibangun, penerbangan makin ramai, tapi ruang bagi pertahanan justru makin sempit. Di atas kertas, ini terlihat seperti pembangunan. Tapi dalam kacamata strategi pertahanan, ini adalah kemunduran.
Hal demikian mengingatkan prinsip dasar dalam teori pertahanan udara modern bahwa landasan adalah force multiplier. Dengan banyaknya pangkalan yang tersebar, negara bisa merespons ancaman dalam hitungan menit. Tapi kalau pangkalan cuma sedikit, dan itu pun berbagi dengan sipil, bagaimana kita bisa bertindak cepat?
Ada pula risiko lain yang sering luput dari perhatian, yaitu keamanan informasi. Ketika area militer berbagi ruang dengan sipil, sangat sulit menjamin kerahasiaan operasi. Bisa saja data atau rutinitas militer terpantau oleh pihak asing, cukup lewat jalur "sah" seperti petugas bandara atau bahkan penumpang pesawat. Ini bukan paranoid. Ini realitas zaman open-source intelligence.
Sebagian pihak mungkin akan berargumen, "Bukankah sinergi sipil-militer justru menghemat biaya?" Ya, secara teori memang bisa. Tapi syaratnya tentu fungsi dan kontrol harus tegas. Di banyak negara maju, infrastruktur ganda tetap punya pemisahan otoritas. Tapi di Indonesia, sering kali logika bisnis lebih dominan dibanding logika strategis.
Oelh karenanya, kita melihat situasi negara yang mengalami paradoks. Kita ingin menjadi negara kuat secara geopolitik, tapi justru membiarkan elemen-elemen strategis kita dipinggirkan. Kita bicara banyak soal Indo-Pasifik, poros maritim dunia, dan ancaman proxy war. Tapi kita lemah dalam urusan pangkalan militer sendiri.
Keluhan Sjafrie Sjamsoeddin seharusnya menyadarkan kita. Jangan sampai kita terjebak pada euforia pembangunan ekonomi jangka pendek, tapi lupa bahwa tanpa pertahanan yang kuat, semua itu rapuh. Investasi boleh, bandara perlu, tapi jangan sampai pangkalan militer jadi korban.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!