Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Ada Lagi Jenazah Dipulangkan! Saatnya Negara Serius Lindungi Migran

18 April 2025   11:02 Diperbarui: 18 April 2025   11:02 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upaya pemulangan para pekerja migran Indonesia korban TPPO di Kamboja (voi.id)

Dunia internasional sedang menatap konflik Gaza dan ketegangan perang tarif Trump, namun jauh dari sorotan utama, ada tragedi sunyi yang menelan nyawa anak bangsa. Sebanyak 92 Warga Negara Indonesia (WNI) meninggal dunia di Kamboja sepanjang 2024, dan masih menyusul rentetan kematian sampai saat ini. Angka yang melonjak tajam dibandingkan hanya satu kasus kematian pada tahun 2020. Siapa yang peduli? Apakah negara hadir?

Tragedi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia berakar dari sumbatan struktural ekonomi domestik dan janji-janji semu dunia digital. Dan lebih tragis lagi, absennya proteksi negara terhadap warganya di luar negeri, khususnya di wilayah Asia Tenggara yang kini jadi "ladang baru" praktik perdagangan orang.Dalam data resmi KBRI Phnom Penh, sepanjang 2024 terdapat 166.795 WNI masuk ke Kamboja. Namun ironisnya, mayoritas dari mereka tidak tercatat sebagai pekerja migran resmi. Mereka masuk melalui jalur tidak prosedural, dengan pekerjaan tak jelas, mayoritas di sektor yang secara hukum Kamboja sendiri berada di zona abu-abu, yaitu judi online, scamming, restoran 

Menteri P2MI Abdul Kadir Karding bahkan secara tegas menyatakan bahwa seluruh WNI yang bekerja di Kamboja bersifat ilegal. Pernyataan ini menyiratkan kegagalan sistemik dalam pengawasan migrasi tenaga kerja kita. Ini bukan sekadar migrasi, ini adalah krisis kemanusiaan yang terbungkus rapi dalam bungkus digitalisasi kerja.

Mereka tidak mati karena takdir, tapi karena negara absen saat mereka paling butuh perlindungan.

Mengapa anak-anak muda kita yang cerdas, terdidik, dan bersemangat justru terjebak dalam jaringan kriminal lintas negara? Jawabannya terletak pada daya tarik eksploitasi algoritma media sosial, yang menawarkan "kerja mudah, gaji besar, kerja di luar negeri". Jebakan manis yang menjadi pintu masuk praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang makin marak di Asia Tenggara.

Secara kriminologis, ini adalah contoh klasik dari teori routine activity, di mana kejahatan terjadi ketika ada target potensial, pelaku termotivasi, dan absennya penjaga (capable guardian). Dalam konteks ini, WNI menjadi target potensial, pelaku adalah sindikat perdagangan manusia, dan negara sebagai 'penjaga' yang tidak hadir.

Model ini diperparah dengan melemahnya deteksi dini negara dalam membaca dinamika perekrutan migran digital. Perpindahan dari migrasi tenaga kerja tradisional ke sektor digital, semu, dan berbasis teknologi membuat pengawasan konvensional tak lagi relevan. Negara belum mampu bertransformasi dalam melindungi warganya di era digital slavery.

Bukan hanya korban ekonomi, mereka juga korban struktural. Indonesia tidak memiliki skema penempatan kerja resmi ke Kamboja, Myanmar, atau Thailand. Artinya, semua keberangkatan ke sana berlangsung tanpa payung hukum, tanpa pelatihan, tanpa jaminan kerja, dan tentu saja tanpa perlindungan hukum.

Kamboja kini menjadi hub utama praktik TPPO Asia Tenggara, menggantikan peran tradisional seperti Malaysia dan Arab Saudi. Negara ini, dengan regulasi yang longgar dan sistem penegakan hukum yang bisa dinegosiasi, menjadi surga bagi sindikat kejahatan terorganisir lintas negara.

Namun jangan salah, sindikat ini bukan beroperasi dari luar. Mereka tumbuh subur justru karena adanya kolaborasi transnasional yang melibatkan aktor-aktor lokal dari Indonesia sendiri. Dalam teori state-corporate crime, fenomena ini bisa dibaca sebagai bentuk kejahatan terorganisir yang melibatkan aktor negara dan swasta secara bersamaan.

Tidak sedikit perekrut berasal dari komunitas lokal, bahkan tetangga atau kerabat dekat korban. Mereka dijanjikan komisi, akomodasi, atau bahkan dibentuk dalam skema MLM (multi level marketing) digital. Proses perekrutan ini menandai transisi TPPO dari model konvensional ke model algoritmik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun