Harga kelapa bulat dan kelapa parut di pasar dalam negeri tengah mengalami lonjakan yang mencengangkan. Sejak Maret, sebelum Idulfitri, harga kelapa ukuran besar menembus Rp 25 ribu per butir, sementara ukuran biasa dijual Rp 20 ribu. Lonjakan harga ini bukan sekadar akibat musiman, tetapi cerminan dari arah orientasi perdagangan yang makin menjauh dari pasar domestik.
Pelaku usaha dan petani lebih memilih ekspor ke China dan Vietnam yang menawarkan harga kelapa segar hingga Rp 30 ribu per butir.
Dibandingkan dengan harga domestik yang hanya berkisar Rp 10--15 ribu, pilihan ini tampak logis dalam perspektif bisnis. Namun pilihan ini memunculkan dilema struktural, ketika orientasi ekspor tidak diimbangi dengan tata kelola pasokan nasional, maka rakyat jadi penonton kelangkaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor kelapa Indonesia pada Januari--Februari 2025 telah mencapai 71.077 ton. Sebanyak 68.065 ton dikirim ke China dengan nilai USD 29,5 juta, sementara sisanya tersebar ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Ini menunjukkan ketergantungan pasar kita terhadap permintaan global yang sangat tinggi, khususnya dari China.
Ketika kelapa lebih murah di luar negeri daripada di negeri sendiri, maka kita butuh lebih dari sekadar ekspor. Kita butuh keadilan dalam perdagangan.Â
Ekspor yang melonjak ini semestinya menjadi kabar baik. Sayangnya, karena belum adanya manajemen pasokan dan distribusi yang terintegrasi dari hulu ke hilir, efek dominonya justru menekan konsumen domestik dan pelaku UMKM. Ketika kelapa menjadi barang mahal, efeknya menjalar ke industri olahan seperti santan, minyak kelapa, bahkan produk makanan tradisional.
Inilah ironi perdagangan nabati kita. Petani bahagia dengan harga tinggi dari ekspor, pelaku usaha besar menikmati keuntungan margin ekspor, sementara masyarakat lokal terbebani harga yang tidak rasional. Ketimpangan ini menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam tata kelola perdagangan agro industri berbasis keadilan produktif. Pada saat lainnya, ketika petani panen raya dengan hasil pertaniannya, biasanya justru diganjar harga yang jatuh dengan dalih stok melimpah.Â
Pertanyaannya, mengapa kita tidak mampu menjaga keseimbangan antara ekspor dan kebutuhan domestik? Jawabannya terletak pada tiga titik lemah, yaitu rendahnya produktivitas kelapa nasional, tidak adanya standar harga acuan domestik, serta minimnya kebijakan hilirisasi kelapa yang terarah.
Indonesia adalah salah satu produsen kelapa terbesar dunia, namun ironisnya kita masih bergantung pada pola perdagangan mentah. Sebagian besar kelapa yang diekspor tidak diolah menjadi produk turunan bernilai tambah tinggi. Padahal, jika hilirisasi diperkuat, bukan hanya volume ekspor meningkat, tetapi juga nilai devisanya akan berlipat.
China semakin melonjak impor kelapa karena diolah menjadi susu dari santan kelapa, sebagai pengganti susu hewani yang semakin melonjak biaya produksinya, demikian juga olahan sabun, dan minyak kelapa yang kemudian di ekspor ke sejumlah negara.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!