Kenaikan harga emas yang menembus Rp1.975.000 per gram pada Kamis, 17 April 2025, seakan menjadi puncak dari fenomena Fear of Missing Out (FOMO) yang melanda masyarakat.
Perang tarif dan ancaman resesi global menjadi pemicu utama, membuat emas kembali jadi primadona sebagai safe haven. Tapi benarkah emas satu-satunya jalan investasi aman untuk generasi Z?
Lonjakan harga emas bukan sekadar fenomena pasar, tetapi juga cerminan dari ketidakmatangan pengambilan keputusan keuangan berbasis emosi. Banyak yang membeli emas hanya karena "takut ketinggalan", tanpa memperhitungkan rasionalitas dan horizon waktu investasi.
Dalam teori perencanaan investasi finansial modern, diversifikasi adalah kunci. Artinya, tidak bijak jika seluruh aset kita ditaruh pada satu instrumen, meski itu emas sekalipun.
Risiko pasar, volatilitas harga, dan likuiditas harus diperhitungkan matang. Apalagi ketika selisih harga beli dan jual emas bisa mencapai ratusan ribu rupiah per gram.
Justru di tengah situasi ketidakpastian global, portofolio investasi harus disusun berdasarkan risk appetite, tujuan keuangan, dan hobi individu. Inilah yang membuat investasi alternatif selama ini dipandang remeh. Padahal, bisa jadi peluang menjanjikan, khususnya bagi generasi Z yang dikenal adaptif, kreatif, dan penuh gairah mencoba hal baru.
Investasi bukan soal ikut tren, tapi soal arah tujuan. Emas bisa berkilau, tapi peternakan dan pertanian bisa berkembang biak. Diversifikasi bukan gaya-gayaan, tapi strategi bertahan.
Ambil contoh investasi peternakan kambing. Seekor anak kambing bisa dibeli seharga Rp1,5 juta. Dalam waktu setahun, kambing muda sudah dapat dikawinkan dan menghasilkan minimal dua ekor anak.
Dalam skenario normal, indukan tersebut bisa dihargai Rp4 juta setelah satu tahun. Artinya, modal Rp3 juta bisa berkembang menjadi aset senilai Rp9-10 juta.
Bukan hanya kambing, kelinci jenis rex juga menjadi ladang investasi produktif. Dikenal memiliki siklus reproduksi yang cepat, kelinci ini mampu melahirkan hingga 6-8 ekor dalam satu kelahiran.