Setiap siswa memiliki momen krusial dalam hidupnya yang menentukan arah masa depan. Bagi saya, momen itu hadir ketika duduk di bangku kelas 11 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Kudus. Saat itulah kami menjalani serangkaian tes peminatan dan IQ yang kemudian saya sadari sebagai langkah awal menata masa depan yang lebih terarah.
Tes yang kami ikuti bukan sekadar soal pilihan ganda biasa. Di balik lembar-lembar soal dan pertanyaan itu, ada cermin yang merefleksikan potensi tersembunyi. Bekerja sama dengan asosiasi psikologi dari sebuah perguruan tinggi ternama, pihak sekolah mengadakan tes IQ dan pemetaan minat-bakat dengan penuh keseriusan.
Saya masih ingat bagaimana hasil IQ saya menunjukkan angka 127, angka yang cukup tinggi untuk membuka peluang ke berbagai jurusan. Uniknya, minat saya terhadap IPA, IPS, dan Bahasa berada di garis yang hampir sejajar. Ini membuat saya dihadapkan pada dilema yang cukup membingungkan. Jurusan mana yang harus saya pilih?
Di tengah kebingungan itu, saya teringat pada satu cita-cita yang telah lama tumbuh, meniti karier dalam dunia hubungan internasional. Dunia diplomasi, resolusi konflik, dan jejaring antarbangsa telah menarik perhatian saya sejak dulu. Dan dari situlah saya mulai menyusun kepingan arah.
Pilihan pun jatuh pada jurusan Bahasa. Bukan karena yang lain tak menarik, tetapi karena saya ingin fokus, menajamkan arah, dan mulai mengukir jalur sejak dini. Jurusan Bahasa menawarkan pondasi yang kokoh bagi siapa pun yang ingin menjelajah dunia kata, budaya, dan komunikasi global.
Hidup bukan tentang jadi serba bisa, tapi tentang berani memilih dan menekuni yang paling kamu cinta. Jurusan bukan akhir, tapi awal dari jalan yang kamu bangun sendiri.
Memilih jurusan di kelas 11 bukan sekadar soal akademik, melainkan soal keberanian menatap masa depan. Di usia belia, kita seringkali belum mengenal betul potensi dan panggilan diri. Namun melalui tes peminatan dan IQ yang dijalani dengan serius, saya merasa terbantu untuk mengenali diri dengan lebih jujur. Saya percaya bahwa memilih jurusan sesuai minat adalah salah satu bentuk investasi terbaik dalam hidup. Ketika kita belajar dengan gairah dan rasa ingin tahu, kelelahan menjadi ringan, dan materi pelajaran terasa lebih menyenangkan untuk dijelajahi.
Berada di kelas Bahasa membuat saya bisa belajar lebih dalam tentang linguistik, sastra, budaya, dan hubungan lintas negara. Pelajaran yang awalnya hanya berupa teori di kelas, kelak menjelma menjadi bekal kuat saat menempuh studi S1 hingga S3 dan bekerja dalam ranah hubungan internasional serta studi perdamaian.
Pengalaman ini meyakinkan saya bahwa penjurusan bukanlah sekat yang membatasi, melainkan jalan yang memudahkan. Tidak ada jurusan yang lebih unggul dari yang lain. Hal yang ada adalah bagaimana kita menyelaraskan pilihan dengan panggilan hati dan potensi diri. Seringkali, kita temui siswa yang "terjebak" dalam jurusan yang tak sesuai. Akibatnya, proses belajar menjadi beban, dan semangat meraih masa depan pun redup. Di sinilah pentingnya tes peminatan dan IQ sebagai peta navigasi awal dalam menentukan langkah.
Saya bersyukur, MAN 2 Kudus saat itu membuka ruang konsultasi setelah hasil tes keluar. Tidak hanya memberikan angka, tapi juga diskusi terbuka dengan guru BK dan tim psikologi. Saya merasa dihargai sebagai individu dengan potensi, bukan hanya sebagai bagian dari sistem.
Kini, saat saya mengajar dan membimbing mahasiswa internasional dalam studi perdamaian, saya kerap kembali pada momen-momen penentuan jurusan itu. Di sanalah akar dari banyak keputusan penting yang saya ambil kemudian. Jalan yang saya tempuh hari ini berawal dari keyakinan remaja 16 tahun yang memilih untuk percaya pada potensi dirinya.