Dalam dunia birokrasi, angka tidak pernah berdusta. Ketika 714 dosen CPNS 2024 mengundurkan diri usai dinyatakan lulus seleksi, publik bukan hanya dikejutkan oleh nominal, melainkan juga oleh pesan yang tersirat. Ada yang tidak sedang baik-baik saja dalam sistem pengelolaan ASN pendidikan tinggi.
Menurut Sekjen Kemendiktisaintek, Togar Mangihut Simatupang (Kompas, 15 April 2025), 653 orang mengundurkan diri secara resmi dan 61 lainnya tidak mengisi daftar riwayat hidup.
Artinya, lebih dari tujuh ratus individu muda berpendidikan tinggi memilih untuk tidak melanjutkan karier sebagai aparatur sipil negara, padahal telah melalui seleksi yang ketat. Pertanyaannya, mengapa?
Alasan yang paling banyak disebutkan adalah penempatan kerja yang tidak sesuai harapan. Ini bukan isu baru.
Tapi ketika fenomena ini muncul dalam skala besar dan menyasar profesi dosen, sesuatu yang selama ini dipandang sebagai benteng moral dan intelektual bangsa, maka ini perlu dikaji lebih dalam. Pemerintah tak cukup hanya mencatat mundurnya mereka, tapi harus melakukan introspeksi sistemik.
Jika kita gunakan kerangka good governance policy, maka jelas ada masalah pada prinsip responsiveness dan effectiveness. Pemerintah belum benar-benar merespons kebutuhan personal dan profesional dari para dosen muda ini. Formasi CPNS seringkali dirancang secara top-down, tanpa mendengar aspirasi dari kelompok sasaran yang dituju.
Sementara dari sisi efficiency, mundurnya 714 CPNS dosen adalah kerugian besar. Proses seleksi yang panjang dan mahal menjadi sia-sia. Negara telah menginvestasikan waktu, tenaga, dan anggaran, tetapi gagal mengamankan SDM yang telah dinyatakan lulus. Ini adalah pemborosan administratif sekaligus kegagalan manajemen talenta.
Ketika ratusan dosen muda memilih mundur setelah lulus CPNS, yang perlu ditinjau bukan hanya mereka, tetapi sistem yang gagal merangkul harapan dan masa depan mereka.Â
Dalam konteks pengembangan SDM modern, kita mengenal prinsip fit and grow. Setiap individu akan berkembang maksimal ketika berada di tempat yang sesuai dengan potensi, nilai, dan tujuan hidupnya.
Ketika penempatan dilakukan tanpa mempertimbangkan faktor psikologis dan sosial kultural, maka akan muncul resistensi yang tinggi, bahkan penolakan total.