Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Diplomasi Kedelai Sebagai Strategi China Membalas Perang Tarif Amerika

15 April 2025   22:33 Diperbarui: 15 April 2025   22:33 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kedelai menjadi komoditas dan senjata dagang antara AS dan China dalam perang tarif (Sumber: sonora.id)

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China tidak sekadar soal angka dan neraca dagang. Di balik angka-angka tarif yang melonjak tajam, tersembunyi strategi geopolitik dan kalkulasi ekonomi yang kompleks. Salah satu medan pertempuran paling menentukan justru bukan produk teknologi tinggi atau mobil mewah, melainkan kacang kedelai. Produk pertanian yang tampaknya sederhana ini telah menjadi senjata balas dendam paling strategis dari China atas kebijakan tarif Presiden Donald Trump.

Presiden Trump memulai perang tarif pada 2017 dengan menaikkan bea masuk terhadap barang-barang asal China hingga 104 persen, dan terus meningkat hingga 145 persen dalam periode berikutnya. Sebagai balasan, China mengenakan tarif balasan sebesar 125 persen terhadap produk-produk asal Amerika Serikat, termasuk produk pertanian unggulan. Yang menjadi sorotan adalah langkah taktis China dalam membidik impor kedelai senilai lebih dari 15 miliar dolar dari AS.

Kedelai bukan sekadar komoditas. Ia adalah denyut nadi pertanian Amerika Serikat. AS adalah eksportir kedelai terbesar kedua di dunia, dengan jangkauan ekspor ke lebih dari 80 negara. Namun, China merupakan pasar terbesar, menyerap hampir 60 persen dari total kedelai yang diperdagangkan di pasar global. Ketika China menghentikan atau mengurangi impor kedelai dari AS, dampaknya langsung terasa di jantung sabuk pertanian Amerika.

Di tangan China, kedelai bukan lagi sekadar komoditas pangan, tapi senjata balas dendam ekonomi yang membidik jantung pertanian Amerika dengan diam, tepat, dan menghancurkan dari ladang Brasil. 

Xi Jinping, sebagai pemimpin strategis, sangat menyadari hal ini. Langkah China mengalihkan impor kedelai dari AS ke Brasil sejak 2017 bukanlah keputusan emosional, melainkan hasil kalkulasi geopolitik. China ingin mengirim pesan tegas bahwa ketergantungan pada satu pemasok utama bisa menjadi kelemahan dalam sebuah perang dagang.

Brasil, sebagai pesaing utama AS dalam ekspor kedelai, mendapatkan momentum luar biasa dari konflik ini. Petani Brasil meraih harga lebih tinggi dan jaminan pasar yang besar dari China. Di sisi lain, petani AS mengalami penurunan harga jual, akumulasi stok berlebih, dan ketidakpastian masa depan. Dalam sebuah ekonomi yang amat bergantung pada pertanian skala besar, ini bukan sekadar pukulan ekonomi, tapi juga pukulan politik.

Imbas dari balasan tarif China tidak hanya terasa di ladang-ladang pertanian. Secara politik, Trump kehilangan dukungan dari konstituen petani yang selama ini menjadi basis elektoral kuat Partai Republik. Negara-negara bagian seperti Iowa dan Illinois, yang menjadi produsen utama kedelai, menunjukkan keraguan terhadap kebijakan unilateral Gedung Putih yang dinilai mengorbankan masa depan petani.

Uni Eropa pun mengamati langkah China dengan seksama. Negara-negara seperti Jerman dan Prancis melihat bahwa sektor pertanian bisa menjadi alat tawar dalam menghadapi kebijakan luar negeri AS yang cenderung proteksionis. Strategi China membuka ruang baru bagi kerja sama dagang lintas kutub, di mana negara-negara yang tidak nyaman dengan dominasi AS bisa mencari alternatif kolaborasi baru.

Dalam konteks ini, kedelai telah melampaui perannya sebagai komoditas. Ia telah menjadi instrumen diplomasi ekonomi. Ketika China menghentikan pembelian dalam jumlah besar, pasar global pun terguncang. Harga kedelai di bursa Chicago mengalami fluktuasi signifikan, dan pelaku pasar mulai memikirkan kembali struktur rantai pasok global yang terlalu terpusat.

Perubahan ini mendorong negara-negara penghasil kedelai lainnya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan infrastruktur logistik. Argentina, India, dan negara-negara Afrika Sub-Sahara mulai melirik peluang baru dari pergeseran orientasi pasar China. Ini adalah efek domino dari perang tarif yang memaksa dunia untuk merestrukturisasi sistem pasok nabati.

Dari sisi ekologi dan keberlanjutan, permintaan China yang tinggi terhadap kedelai justru menimbulkan ironi. Untuk memenuhi kebutuhan ekspor, Brasil dimungkinkan membuka lahan pertanian baru di kawasan Amazon, sehingga meningkatkan deforestasi yang memicu kritik global. Perang dagang pun tak hanya berdampak pada ekonomi, tapi juga pada lingkungan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun