Dunia saat ini seperti kapal besar yang oleng. Di tengah gelombang perubahan geopolitik, krisis iklim, dan ketimpangan ekonomi global, sistem tata kelola internasional yang kita warisi dari pasca-Perang Dunia II terlihat tak lagi mampu menjaga keseimbangan. Lembaga-lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kini lebih sering menjadi simbol kejumudan ketimbang harapan.
Dewan Keamanan PBB, misalnya, masih terkungkung dalam logika kekuasaan lima negara tetap pemegang veto. Sementara suara dan kepentingan lebih dari 130 negara berkembang hanya jadi pelengkap formalitas. Padahal, konflik dan kekacauan yang terjadi saat ini justru paling banyak berdampak pada negara-negara Selatan.
Hal yang sama juga terlihat pada lembaga seperti WTO, yang semakin kehilangan kemampuan untuk menjamin keadilan perdagangan. Negara-negara berkembang masih terus menghadapi hambatan struktural dalam mengakses pasar global, teknologi, dan pendanaan. Sistem ini tidak adil, dan dunia tahu itu. Sebutlah perang dagang yang coba dimainkan Donald Trump demi menjaga ekonomi Amerika Serikat, menerapkan bea masuk impor produk-produk sejumlah negara di dunia.
Di sinilah pentingnya kita menoleh kembali ke satu momen bersejarah, Konferensi Asia Afrika pada April 1955 di Bandung. Konferensi ini bukan sekadar peristiwa diplomatik, tapi sebuah deklarasi moral bahwa dunia harus dikelola bersama, tanpa dominasi, tanpa subordinasi, dan berdasarkan prinsip kesetaraan.
Perdamaian sejati tak lahir dari senjata, tapi dari keadilan. Dunia tidak butuh dominasi, tapi kesetaraan. Inilah semangat Bandung yang harus kita hidupkan kembali hari ini.
Visi besar Konferensi Asia Afrika adalah membangun perdamaian dunia yang berkeadilan melalui solidaritas antarbangsa yang selama ini tersingkir dari pusat kekuasaan global. Prinsip-prinsip seperti non-interference, equal sovereignty, dan coexistence bukanlah slogan, melainkan fondasi etika politik internasional yang luhur.
Sayangnya, semangat itu semakin memudar dalam praktik diplomasi global hari ini. Hal yang menonjol justru adalah kepentingan nasional sempit, blok-blok kekuatan, dan hegemoni politik ekonomi yang menekan negara-negara berkembang untuk tunduk pada desain global yang tidak mereka rumuskan.
Studi perdamaian mengajarkan bahwa perdamaian sejati tidak hanya berarti ketiadaan perang, tetapi juga keadilan struktural, keseimbangan relasi, dan penghormatan terhadap martabat semua bangsa. Maka, perdamaian dunia yang kita dambakan tidak mungkin tercapai selama ketimpangan dalam tata kelola global masih dibiarkan.
Indonesia sebagai negara yang pernah memimpin gerakan moral Asia-Afrika memiliki tanggung jawab historis dan moral untuk kembali menjadi motor perubahan. Dunia sedang mencari arah baru, dan Indonesia punya modal legitimasi, pengalaman, serta posisi strategis di ASEAN, G20, dan forum multilateral lainnya.
Momentum Pact of the Future yang dihasilkan pada Sidang Majelis Umum PBB ke-79 pada September 2024 adalah panggilan global untuk melakukan reformasi menyeluruh. Bukan hanya pada struktur PBB, tapi juga pada cara dunia memahami dan mempraktikkan multilateralisme. Ini adalah pintu masuk untuk menghidupkan kembali semangat Bandung dalam bentuk baru.
Reformasi Dewan Keamanan PBB, misalnya, tidak bisa ditunda lagi. Dunia multipolar tidak bisa terus-menerus diatur oleh peta kekuasaan tahun 1945. Negara-negara dari Afrika, Asia, Amerika Latin, dan dunia Islam harus diberi tempat setara dalam pengambilan keputusan global.