Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade tanpa solusi yang benar-benar tuntas. Di balik upaya damai yang kerap dikumandangkan, akar konflik belum pernah sungguh-sungguh diurai. Dalam Forum Diplomasi Antalya, 11 April 2025, Prabowo Subianto mengemukakan satu hal mendasar berupa perdamaian mustahil terwujud tanpa kemerdekaan penuh bagi Palestina. Tanpa keadilan, perdamaian hanyalah ilusi.
Pandangan ini sejalan dengan pendekatan bina damai (peacebuilding) dalam studi perdamaian. Johan Galtung, bapak ilmu perdamaian dunia, mengingatkan bahwa konflik tak bisa selesai hanya dengan kesepakatan politik atau gencatan senjata. Konflik harus ditransformasikan: mengubah struktur kekerasan menjadi sistem yang adil, setara, dan bebas dari penindasan. Inilah inti dari transformasi konflik.
Prabowo menawarkan jalan damai melalui solusi dua negara yang dijaga oleh pasukan perdamaian PBB. Garis demarkasi, yang selama ini menjadi titik konflik terpanas, dapat dikelola secara netral dan damai. Ini bukan sekadar zona militerisasi, tetapi dapat menjadi ruang transisi menuju kepercayaan, keamanan, dan kolaborasi antarnegara.
Solusi dua negara bukan hanya kompromi, tetapi keberanian untuk merubah sejarah. Palestina merdeka adalah kunci damai yang abadi.
Dalam pendekatan Galtung, kita belajar bahwa ada kekerasan langsung, struktural, dan kultural. Palestina selama ini hidup dalam ketiganya, yaitu pendudukan bersenjata (kekerasan langsung), ketimpangan sosial politik (kekerasan struktural), dan stigmatisasi historis (kekerasan kultural). Transformasi konflik berarti menghapus ketiga lapisan ini dan membangun kondisi damai yang berkelanjutan.
Teori nirkekerasan Islam dari Abu Nimer juga menjadi kunci. Ia menekankan bahwa perubahan sosial yang sejati di dunia Muslim harus dibangun melalui pendekatan damai, dialog, dan pemberdayaan masyarakat. Palestina harus diperjuangkan dengan jalan damai yang bermartabat, bukan dengan kekerasan yang memperpanjang derita rakyat sipil.
Prabowo, yang memiliki latar militer sekaligus pengalaman diplomatik, paham bahwa stabilitas kawasan tidak akan pernah lahir dari kemenangan satu pihak. Solusi dua negara bukan bentuk kompromi yang lemah, tetapi bentuk kematangan politik global. Israel dan Palestina harus diakui sebagai dua entitas sah, dengan batas wilayah yang jelas dan kedaulatan yang dijaga bersama.
Pasukan perdamaian PBB yang diusulkan akan menjadi pelindung garis batas serta penjaga proses transisi. Namun, bukan berarti mereka bertugas selamanya. Tujuannya adalah memastikan kedua negara punya cukup ruang untuk membangun rasa saling percaya, meredam radikalisme, dan membangun infrastruktur sosial-politik yang damai.
Kita juga tak bisa mengabaikan peran kekuatan eksternal dalam konflik ini. Sejak lama, kawasan ini menjadi ajang proxy war negara-negara besar. Maka, mendorong solusi damai berarti juga menantang aktor-aktor luar untuk berhenti menggunakan konflik ini sebagai alat geopolitik. Dunia harus berani memihak pada keadilan, bukan sekadar keseimbangan kekuatan.
Dalam semangat Abu Nimer, nirkekerasan bukan sekadar menahan diri dari kekerasan fisik, tetapi menciptakan struktur alternatif yang adil. Palestina merdeka adalah struktur baru yang memungkinkan transformasi damai. Dan ini tidak bertentangan dengan keamanan Israel, justru menjadi syarat pokok bagi Israel untuk hidup tanpa ancaman eksistensial dari perlawanan bersenjata.
Proses bina damai yang dibayangkan tidak bisa diserahkan hanya pada elite politik. Masyarakat sipil di kedua negara harus menjadi bagian dari rekonsiliasi. Pendidikan perdamaian, pertukaran pemuda, serta proyek bersama lintas batas adalah elemen penting dalam membangun kohesi sosial yang tahan terhadap provokasi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!