Presiden terpilih Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan inisiatif kemanusiaan untuk menampung warga Gaza yang terluka, sakit, dan membutuhkan pemulihan di Indonesia. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, tentu langkah ini menggugah rasa empati kita. Tapi di balik ketulusan tersebut, ada pertanyaan besar yang tak boleh luput dari perhatian kita: apakah ini benar-benar solusi yang adil bagi Palestina, atau justru langkah yang bisa berujung pada jebakan sejarah?
Tak ada yang salah dari niat menyelamatkan warga sipil yang menjadi korban kekerasan. Namun, dalam dunia hubungan internasional, niat baik tidak selalu menghasilkan hasil baik jika tidak disertai dengan perhitungan strategis yang matang.
Gagasan relokasi ini mengingatkan kita pada wacana yang pernah dilontarkan oleh tim transisi Presiden Donald Trump, yang secara kontroversial menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang bisa menampung warga Gaza. Saat itu, mayoritas publik Indonesia mengecam keras ide tersebut. Hari ini, dengan narasi berbeda, ide yang mirip muncul kembali dalam bentuk diplomasi evakuasi.
Evakuasi Bukan Solusi Permanen
Harus diakui bahwa evakuasi bukanlah solusi jangka panjang, bahkan bisa menjadi boomerang diplomatik yang menguntungkan pihak penjajah. Relokasi massal warga Gaza dapat memperkuat skenario "tanah tanpa rakyat," sebuah kondisi yang justru dikehendaki oleh proyek pendudukan Israel.
Semakin banyak warga Gaza yang keluar, semakin besar celah bagi Israel untuk memperluas pemukiman ilegal dan mengokohkan cengkeramannya di tanah Palestina. Maka, relokasi bisa berubah menjadi bentuk baru dari genosida, bukan dengan senjata tetapi dengan penghapusan eksistensi geografis.
Rakyat Palestina tidak butuh untuk dipindahkan. Mereka butuh dibela. Mereka tidak ingin jadi pengungsi abadi di tanah orang, tapi ingin merdeka dan hidup layak di tanah airnya sendiri. Mereka membutuhkan akses terhadap bantuan medis dan logistik di wilayah mereka sendiri. Mereka juga membutuhkan perlindungan diplomatik dan hukum atas hak hidup dan tanah mereka, koridor kemanusiaan yang aman, bukan jalur pengusiran. Dan yang terpenting, dukungan internasional terhadap kemerdekaan mereka.
Menolong rakyat Gaza bukan dengan membuangnya, tapi dengan membelanya untuk tetap hidup merdeka di tanahnya sendiri.
Presiden Prabowo telah melakukan kunjungan diplomatik ke Mesir, Yordania, UEA, Turki, dan Qatar untuk membahas krisis Gaza. Ini patut diapresiasi. Namun, diplomasi kemanusiaan saja tidak cukup. Kita perlu memimpin juga diplomasi kemerdekaan. Konstitusi kita, UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa "kemerdekaan adalah hak segala bangsa." Maka, posisi Indonesia seharusnya jelas dan konsisten, yaitu membantu warga Gaza tanpa mengorbankan hak mereka untuk kembali dan merdeka di tanah sendiri.
Mari kita bicara secara realistis. Jika Indonesia menerima ribuan warga Gaza, ada tiga bahaya besar yang mengintai. Pertama, Israel bisa mengklaim bahwa Gaza sudah "bersih" dari rakyatnya dan melanjutkan pembangunan permukiman ilegal. Kedua, warga Gaza yang direlokasi bisa kehilangan hak kembali karena statusnya jadi tidak jelas. Ketiga, isu Palestina bisa bergeser dari perjuangan kemerdekaan menjadi sekadar isu pengungsi. Bukankah ini ironi besar? Kita ingin menolong, tapi justru bisa mempercepat penghapusan Palestina dari peta dunia.
Kemerdekaan Bukan Belas Kasihan