Di era digital ini, kemampuan teknologi dan kreativitas menjadi kartu truf utama generasi Z. Mereka tumbuh di tengah algoritma, mahir mengolah data, piawai dalam desain, dan lincah dalam dunia digital. Namun, realitas di ruang interview seringkali memberi tamparan yang tak terduga: kegagalan demi kegagalan, padahal mereka merasa telah membawa semua "senjata" yang diperlukan.
Saya menyapa kalian, para pemuda Gen Z yang pernah keluar dari ruang interview dengan kepala tertunduk, bertanya-tanya, "Apa salahku?" Padahal presentasi portofolio memukau, ide segar mengalir, dan software terbaru sudah dikuasai. Tapi tetap saja, HR mengatakan, "Kami akan hubungi kembali," yang biasanya adalah cara halus menolak.
Di sinilah paradoks itu terjadi. Dunia kerja tidak hanya menilai apa yang kamu bisa, tetapi juga bagaimana kamu menyampaikannya. Banyak dari kalian merasa interview adalah ritual kuno yang terlalu basa-basi, penuh dengan pertanyaan klise seperti "Ceritakan tentang diri Anda." Tapi percayalah, dalam dunia kerja, bukan hanya logika yang bicara, melainkan juga empati dan relasi.
Gen Z adalah generasi cemerlang yang sayangnya sering salah paham dalam memahami konteks sosial. Kalian lebih nyaman mengetik daripada berbicara, lebih lancar membuat konten TikTok daripada berinteraksi dengan manajer HR yang menatap lurus dan bertanya pelan. Kelebihan kalian menjadi tak berarti ketika tidak bisa "menghubungkan titik" dengan pewawancara.
Ingat, interview bukanlah ujian akademik atau uji keterampilan semata. Ia adalah panggung kecil untuk menunjukkan bahwa kamu bisa bekerja dalam tim, bisa mendengar, bisa menyesuaikan, dan bisa menjadi bagian dari ekosistem perusahaan. Karena pada akhirnya, perusahaan tidak hanya mencari otak, tetapi juga manusia yang bisa tumbuh bersama kultur kerja mereka.
Kreativitas kalian memukau, tetapi jika disampaikan dengan kaku dan dingin, itu seperti mahakarya yang dipajang di ruangan gelap. Maka belajarlah menyalakan lampu, yaitu komunikasi. Mungkin kalian tidak suka basa-basi, tapi dalam komunikasi profesional, "small talk" adalah jembatan untuk membangun kepercayaan.
Kamu mungkin jago teknologi, tapi dunia kerja butuh lebih dari logika. Ia butuh koneksi antar manusia.
Para pewawancara bukan sedang mencari teman ngobrol, tetapi rekan kerja yang nyaman diajak kolaborasi. Sikap terlalu to the point, meski efisien, sering disalahartikan sebagai arogansi atau ketidakmampuan berempati. Padahal, kalian hanya ingin jujur dan efisien. Tapi dunia kerja, sayangnya, masih membaca bahasa tubuh lebih dulu sebelum mendengar kata-kata.
Saran saya, jangan ubah jati dirimu, tapi kembangkan fleksibilitas sosialmu. Adaptasi bukanlah pengkhianatan pada diri, melainkan keterampilan bertahan. Kalian bukan harus menjadi generasi yang sama dengan milenial atau X, tapi kalian perlu belajar "berbahasa" lintas generasi agar bisa dipahami.
Banyak dari kalian yang sangat berbakat, tapi tidak pernah diajari bagaimana menjual bakat itu dalam bentuk narasi yang menyentuh hati manusia lain. Interview adalah seni bercerita, bukan tentang melebih-lebihkan, tapi mengemas diri agar bisa dikenali dan dipercaya.
Jika kamu gagal berkali-kali dalam interview, bukan berarti kamu tidak cukup baik. Bisa jadi, kamu belum belajar menyampaikan nilai dirimu dengan cara yang bisa dicerna oleh mereka yang tumbuh dalam sistem yang berbeda.