Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Gerakan Kepedulian Melawan Sampah Makanan di Bulan Ramadan

7 Maret 2025   07:14 Diperbarui: 7 Maret 2025   07:14 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gerakan kurangi sampah makanan dari rumah tangga  (Sumber: Dok. Khamdan)

Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, di mana umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk ketakwaan dan pengendalian diri. Namun ironisnya, bulan suci ini juga membawa dampak lingkungan yang signifikan akibat meningkatnya jumlah sampah makanan. Indonesia, yang menempati posisi kedua sebagai negara penghasil limbah makanan terbesar setelah Arab Saudi, menghadapi lonjakan sampah makanan hingga 5-20% selama Ramadhan, sebagaimana dilaporkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Fenomena ini sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya konsumsi masyarakat saat berbuka puasa dan sahur. Berbagai jenis takjil dan hidangan sahur seringkali disiapkan dalam jumlah berlebih, sehingga banyak yang berakhir menjadi limbah. Tradisi berbuka puasa dengan aneka makanan manis dan gurih memang menjadi bagian dari budaya, tetapi tanpa kesadaran pengelolaan yang baik, hal ini justru berkontribusi pada meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat pembusukan makanan.

Sampah makanan yang membusuk di tempat pembuangan akhir (TPA) menghasilkan gas metana, yang memiliki potensi pemanasan global 25 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida. Dengan kata lain, kebiasaan membuang makanan bukan hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga mempercepat perubahan iklim. Peningkatan emisi gas rumah kaca dari pembusukan makanan ini harus menjadi perhatian bersama, terutama dalam momen Ramadan yang seharusnya mengajarkan prinsip kesederhanaan dan kepedulian terhadap lingkungan.

Selain dari aspek lingkungan, sampah makanan juga mencerminkan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang mengalami kelebihan makanan hingga berujung pada pemborosan, sementara di sisi lain masih banyak yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Fenomena ini menunjukkan adanya urgensi dalam mengubah pola konsumsi dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dalam mengelola sumber daya makanan.

Puasa mengajarkan kita menahan diri, bukan hanya dari lapar dan dahaga, tetapi juga dari kesia-siaan membuang makanan. Sebab, setiap butir nasi yang terbuang adalah hak orang lain yang kelaparan.

Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan mengadopsi kebiasaan memilah sampah sejak dari rumah. Masyarakat dapat mulai membedakan antara sampah organik dan anorganik, serta mengolah limbah makanan menjadi kompos. Kompos dari sisa makanan ini dapat digunakan untuk memperkaya tanah dan mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap pertanian yang lebih berkelanjutan. Selain itu, gerakan zero waste dalam konsumsi makanan perlu semakin diperkuat selama Ramadan. Masyarakat dapat memulai dengan merencanakan menu berbuka dan sahur dengan porsi yang sesuai kebutuhan, serta mengurangi kebiasaan membeli makanan berlebihan hanya karena tergiur oleh godaan visual atau diskon di pasar dan restoran.

Restoran, hotel, dan katering yang menyajikan hidangan berbuka puasa dalam skala besar juga harus mengambil langkah proaktif dalam mengurangi limbah makanan. Misalnya, dengan menyusun strategi donasi makanan berlebih kepada masyarakat yang membutuhkan, bekerja sama dengan bank makanan, atau menerapkan sistem take-away yang lebih ramah lingkungan. Peran pemerintah juga sangat penting dalam mengatasi masalah ini. Kebijakan yang mendorong pengurangan sampah makanan, seperti pajak bagi bisnis yang membuang makanan berlebih atau insentif bagi mereka yang mendonasikan makanan, dapat menjadi langkah strategis dalam mengubah perilaku masyarakat.

Selain itu, edukasi dan kampanye publik yang menyoroti dampak negatif dari pemborosan makanan perlu digencarkan. Media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan pesan tentang pentingnya pengelolaan sampah makanan, berbagi resep kreatif untuk memanfaatkan sisa makanan, serta membangun komunitas yang peduli terhadap lingkungan. Di tingkat individu, setiap orang dapat mulai menerapkan konsep food mindfulness, yaitu kesadaran penuh terhadap konsumsi makanan. Dengan demikian, setiap makanan yang dikonsumsi bukan hanya dilihat sebagai pemenuh kebutuhan fisik, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Ramadhan bukan hanya tentang menyucikan jiwa, tetapi juga tentang menyucikan bumi. Kurangi sampah makanan, berbagi dengan yang membutuhkan, dan jadikan setiap suap sebagai berkah, bukan beban bagi lingkungan. 

Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengendalian diri, termasuk dalam hal konsumsi makanan. Mengurangi limbah makanan bukan hanya soal efisiensi ekonomi, tetapi juga merupakan bagian dari etika dan kepedulian terhadap sesama serta kelestarian bumi. Jika setiap rumah tangga, restoran, dan institusi mengambil langkah kecil dalam mengelola sampah makanan dengan lebih bijak, dampak kumulatifnya akan sangat besar. Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang membangun kebiasaan yang lebih berkelanjutan demi generasi mendatang.

Dengan mengedepankan prinsip kesederhanaan, keberlanjutan, dan solidaritas, kita dapat menjadikan bulan suci ini sebagai ajang refleksi untuk memperbaiki hubungan kita dengan lingkungan. Kita mesti menjadikan gerakan kepedulian terhadap sampah makanan sebagai gerakan menebus dosa. Gerakan itu bukan sekadar mengurangi limbah, tetapi juga tentang mengubah kebiasaan dengan makan secukupnya, berbagi dengan yang membutuhkan, dan mengolah sisa makanan menjadi lebih bermanfaat. Sebab, puasa sejati bukan hanya menahan lapar, tetapi juga menjaga bumi dari kerakusan yang tidak perlu. Sebab, menjaga bumi adalah bagian dari ibadah yang tidak kalah pentingnya dengan menunaikan kewajiban puasa itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun