Bulan Ramadan tidak hanya menjadi momen spiritual bagi umat Muslim, tetapi juga membuka peluang ekonomi yang signifikan, terutama bagi mahasiswa. Fenomena mahasiswi-mahasiswi cantik yang berjualan takjil di berbagai kampus ternama di Indonesia misalnya, semakin marak dari tahun ke tahun. Dari Pleburan di kawasan Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, sepanjang jalan Dr. Mansyur Medan oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) di pintu empat USU, hingga mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya yang tetap berjualan meskipun kampus menyediakan paket war takjil. Hal serupa juga terlihat di Universitas Jember, Universitas Gajayana Malang, hingga mahasiswa Politeknik Negeri Bali di depan kantor Act Mri di Jalan Waturenggong. Fenomena ini mencerminkan kesadaran ekonomi mahasiswa dalam membaca peluang bisnis meski dengan modal yang terbatas.
Dalam perspektif ekonomi mikro, munculnya pedagang musiman, khususnya mahasiswa yang berjualan takjil, adalah bentuk implementasi dari prinsip supply and demand. Permintaan takjil di bulan Ramadan melonjak drastis, terutama menjelang waktu berbuka puasa. Di sisi lain, mahasiswa yang memiliki keterbatasan finansial melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menjadi bagian dari rantai pasokan, sekaligus mendapatkan keuntungan dari lonjakan permintaan ini. Fenomena ini menjadi contoh nyata dari bagaimana individu bisa mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Ramadan bukan hanya waktu untuk berbagi, tetapi juga kesempatan untuk belajar mandiri. Dari jualan takjil, mahasiswa tak hanya mencari cuan, tapi juga membangun masa depan!
Menariknya, mahasiswa yang terjun ke bisnis takjil ini tidak sekadar berjualan secara konvensional, tetapi juga menerapkan prinsip digital marketing. Dengan memanfaatkan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan WhatsApp, mereka mampu menjangkau lebih banyak pelanggan. Beberapa bahkan menawarkan layanan pre-order dan pengantaran agar lebih menarik bagi konsumen yang enggan berdesakan di jalan. Ini menunjukkan bahwa meskipun berjualan dengan modal pas-pasan, mereka tetap mampu mengadopsi strategi pemasaran modern yang relevan dengan era digital.
Selain strategi pemasaran, aspek manajemen keuangan juga terlihat dalam aktivitas jualan takjil oleh mahasiswa. Mereka harus menghitung modal, harga pokok penjualan, dan keuntungan dengan cermat agar bisnis kecil ini tetap berjalan selama bulan Ramadan. Beberapa mahasiswa bahkan mulai menerapkan teknik budgeting sederhana, seperti memisahkan keuntungan untuk ditabung atau diinvestasikan kembali dalam usaha mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman berdagang secara langsung mengasah keterampilan financial planning mereka.
Lebih jauh lagi, fenomena ini mengajarkan mahasiswa tentang manajemen risiko. Berjualan takjil memiliki tantangan tersendiri, seperti risiko makanan yang tidak laku, fluktuasi permintaan harian, serta persaingan dengan pedagang lain. Para mahasiswa yang sukses dalam bisnis dadakan ini umumnya mampu mengatasi tantangan tersebut dengan fleksibilitas strategi, seperti menawarkan diskon di menit-menit terakhir atau menjual paket bundling agar produk mereka lebih menarik di mata pelanggan.
Dari perspektif ekonomi terapan, fenomena mahasiswa yang berjualan takjil juga menjadi cerminan dari teori entrepreneurship yang banyak dibahas dalam literatur bisnis. Mahasiswa yang berani terjun ke dunia usaha, meski dalam skala kecil, menunjukkan karakteristik wirausahawan seperti inovasi, keberanian mengambil risiko, dan kemampuan membaca peluang. Ini adalah modal berharga yang bisa mereka bawa ke dunia kerja atau bahkan untuk membangun bisnis mereka sendiri di masa depan.
Keberadaan mahasiswa sebagai pedagang takjil juga memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar kampus. Selain menciptakan ekosistem ekonomi yang dinamis, aktivitas ini membantu menggerakkan ekonomi lokal, terutama bagi pemasok bahan baku seperti pedagang pasar tradisional dan distributor bahan makanan. Hal ini menciptakan efek multiplier yang menguntungkan berbagai pihak dalam rantai pasokan makanan selama Ramadan.
Di sisi lain, ada aspek sosial yang juga menarik untuk dibahas. Mahasiswa yang berjualan takjil seringkali memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun jaringan dan relasi sosial. Interaksi dengan pelanggan, negosiasi harga, hingga kolaborasi dengan sesama pedagang adalah pengalaman berharga yang tidak bisa mereka dapatkan hanya dari bangku kuliah. Ini menjadi bagian dari soft skill yang sangat berharga bagi mereka di dunia profesional nanti.
Baca juga: Puasa Ramadan dan Produktivitas Tanpa BatasSetiap peluang adalah ilmu, setiap usaha adalah pengalaman. Mahasiswa yang berani berjualan takjil di Ramadan bukan sekadar pedagang musiman, tapi calon pengusaha masa depan!
Namun, di tengah semangat wirausaha ini, ada tantangan yang perlu diperhatikan. Beberapa mahasiswa mungkin terlalu fokus pada bisnis hingga mengabaikan akademik mereka. Oleh karena itu, manajemen waktu menjadi kunci agar bisnis takjil tetap berjalan tanpa mengorbankan prestasi akademik. Disiplin dalam mengatur waktu antara kuliah, berjualan, dan istirahat menjadi tantangan tersendiri yang juga mengasah kemampuan multitasking mereka.