Kemenangan film dokumenter No Other Land dalam kategori Best Documentary Feature Film di ajang Academy Awards 2025 bukan sekadar pencapaian sinematik, tetapi juga momentum politik yang memperkuat kesadaran global terhadap realitas penjajahan Israel atas Palestina.Â
Film yang disutradarai dan dibintangi oleh Yuval Abraham, Basel Adra, dan Hamdan Ballal ini berhasil mengalahkan empat nominator lainnya, yaitu Porcelain War, Sugarcane, Black Box Diaries, dan Soundtrack to a Coup d'Etat. Lebih dari sekadar film dokumenter, No Other Land merupakan refleksi dari ketidakadilan struktural yang selama ini coba dibungkam oleh kepentingan geopolitik internasional.
Dalam pendekatan komunikasi politik sinematografi, film memiliki kekuatan lebih dari sekadar hiburan. Ia menjadi instrumen propaganda, alat penyadaran, serta senjata perjuangan.Â
Keberhasilan No Other Land meraih Oscar tidak hanya menandai pengakuan terhadap kualitas sinematiknya, tetapi juga mengukuhkan film sebagai media perlawanan yang efektif. Sejarah mencatat bahwa film sering kali menjadi bagian dari diplomasi budaya, membentuk opini publik, dan memengaruhi kebijakan internasional.
Sebagai film dokumenter, No Other Land menampilkan realitas kehidupan rakyat Palestina yang terusir dari tanahnya sendiri akibat kebijakan agresif Israel. Keputusan Academy Awards untuk memberikan penghargaan tertinggi kepada film ini menunjukkan bahwa sinema dapat berperan sebagai suara bagi mereka yang tertindas. Film ini menjadi medium bagi narasi yang selama ini kerap disensor atau dimanipulasi oleh kekuatan dominan dalam industri media global.
Pentingnya kemenangan No Other Land juga dapat dianalisis dari perspektif framing dalam komunikasi politik. Media arus utama kerap menggambarkan konflik Israel-Palestina dalam kerangka netralitas palsu, seolah-olah ini adalah konflik simetris. Padahal, kenyataannya adalah ketimpangan kekuasaan antara penjajah dan yang dijajah. Film ini membongkar framing tersebut dengan menghadirkan perspektif korban yang sering diabaikan oleh media Barat.
Lebih jauh, film ini juga mencerminkan kekuatan soft power Palestina dalam meraih simpati dunia. Joseph Nye, dalam teorinya tentang soft power, menekankan bahwa pengaruh suatu bangsa tidak hanya bergantung pada kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga pada daya tarik budayanya. No Other Land menjadi bukti bahwa Palestina mampu menggunakan seni dan sinema untuk menyampaikan pesan perjuangan mereka kepada komunitas global.
Konteks penghargaan ini juga menunjukkan perubahan dalam opini publik internasional terkait isu Palestina. Jika sebelumnya narasi yang dominan adalah legitimasi Israel sebagai entitas yang berhak mempertahankan diri, maka kini semakin banyak suara yang menyoroti aspek kolonialisme dan apartheid dalam kebijakan Israel. Film ini mempercepat pergeseran opini tersebut, terutama di kalangan generasi muda yang lebih kritis terhadap kebijakan luar negeri negara-negara besar.
Selain itu, No Other Land juga menjadi preseden bagi sineas dari wilayah konflik lainnya. Kesuksesan film ini membuka ruang bagi produksi dokumenter independen yang berani menyoroti ketidakadilan global. Hal ini membuktikan bahwa sinema dapat menjadi alat diplomasi yang efektif dalam memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia.Â